Malam Pertama

19.7K 71 7
                                    


Tangannya terlihat sedikit bergetar kala memoleskan bedak di wajahnya yang oval. Netranya tak henti bergerak menatapi setiap inci rupa diri. Beberapa kali secara tidak sengaja, ia menggigit pelan bibirnya yang telah dipoles seksi itu. Persiapan harus dilakukan sebaik mungkin, sebab ada kewajiban pertama sebagai seorang istri yang harus ditunaikan malam ini.

"Aduuuhhh aduhhh ya ampun," gusarnya pada diri sendiri, sembari melompat-lompat kecil.


Detik terus berpacu. Ia harus bisa memberanikan diri untuk melangkahkan kaki keluar menuju kamar di ujung sana. Terdiamnya ia sejenak. Diusapnya perlahan cincin emas yang terpasang di jari manisnya, simbol bersatunya dua insan yang berbeda. Mungkin saja sekarang pikirannya sedang bergelayut mesra tentang peristiwa tadi pagi.

-----

"Saya nikahkan engkau, Abi Zafran bin Tufail Arsyad dengan ananda Nur Adiba binti Wahid dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Adiba binti Wahid dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Suara orang-orang menggema, memenuhi setiap sudut ruang mesjid. "SAAAH! ALHAMDULILLAH." Pasalnya mereka baru saja menyaksikan momen sakral, yang bahkan mampu mengetarkan Arsy Sang Kuasa.

Pemuda berbadan tegap itu kemudian dengan sigap menuju kamar pengantin wanita. Dibawanya sepasang cincin pernikahan yang terbalut rapih dalam sebuah kotak merah berbentuk hati.

Terdengar beberapa orang membalas salam Abi, sebelum ia memasuki ruangan itu.

Sang pengantin duduk terdiam, tertunduk saling memandangi objek yang ada dibawah mereka. Si wanita juga sibuk memainkan gaun pengantin putihnya. Nampaknya mereka masih canggung satu sama lain.

"Ehm, Abi ...," tegur wanita paruh baya itu, ibunda Abi.

"Sudah segitu kepinginnya, ya? Kasur dilihati terus. Hahahaa," ejek sang ayah.

Mata pemuda itu membulat begitu mendengarnya. Diiringi dengan batuk yang nampak dibuat-buat. Ah ..., Barangkali ia malu.

Kemudian sesekali netranya mencuri pandang pada pemandangan indah di hadapannya. Tak mau kalah, si wanita juga ternyata sudah daritadi diam-diam melirik lelakinya. Lantas ketika dua pasang bola mata itu bertemu, senyuman di bibir pun tak dapat dikekang lagi. Terlihat jelas pipi mereka bersemu karenanya.

"Bismillah," diraihnya tangan kanan wanitanya dengan hati-hati. Kontras warna kulit Adiba yang putih, ditambah henna hitam di tangannya, sukses membuat netra Abi terpaku kala menatapnya.

"Masha Allah," ia bergumam kecil.


Didapatinya tangan Adiba bergetar. Wajar saja baginya, ini adalah sentuhan pertama seorang lelaki. Lelaki yang mulai hari ini akan dipanggilnya suami.

"Cantik," ujar Abi setelah menyematkan cincin pada jari manis wanita yang memang manis itu.

Kali ini giliran Adiba. Ia harus bisa menuntaskan misi itu. Perlahan digerakkanlah tangannya menuju tangan suaminya. Namun diurungkan lagi. Entah sudah berapa banyak keringat yang mengalir, yang entah bagaimana berubah menjadi serpihan kaca kecil di bola matanya.
Banyak yang tak sabaran melihat tingkah Adiba. Tinggal dipegang saja tangan lelaki di hadapannya itu apa susahnya sih? Pakaikan cincinnya, cium tangannya. Udah selesai. Toh mereka juga sudah sah kan?
Tapi benarlah, hal ini sangat sulit. Sepertinya ini karena jantungnya yang tidak mau diajak kompromi. Masih saja ribut menabuh gendang.

"Dik, coba lihat mata abang," pinta Abi seakan ingin menyemangati.

Adiba menatap mata itu dengan seksama, seolah terperangkap di dalamnya. Kemudian diliriknya lagi hidung lelakinya, turun sampai ke bibir..., dan jakunnya! Ah! Matanya menyiratkan sesuatu yang aneh. Kemudian ia tersenyum lagi.

-----

Didudukinya sebuah ranjang cantik yang telah dihias sedemikian rupa. Dilihatnya banyak bunga mawar merah lambang gairah bertaburan memenuhi ruangan. Adiba menunggu lelakinya untuk datang, dan memenuhi kewajiban pertamanya.

Derap langkah itu kian terdengar jelas. Tangan Adiba bergerak sangat cepat, mengipasi pipinya seolah sedang dibakar api dan arang.

"Pegang tangan Abi aja tadi lama banget, gimana caranya mau begitu??" racaunya sendiri.

"Assalamualaikum," salam Abi membuyarkan lamunannya.

Duh!

Adiba berdiri menjawab salam. Digerakkan tangannya sedikit-sedikit, seakan tengah merajut sesuatu. Sesekali angin dari kipas menyibakkan rambutnya, membuatnya makin cantik dan mempesona.

"Masha Allah. Sungguh sempurnanya istriku," mata Abi berbinar melihat pemandangan itu.

Kemudian ia mendekati wanitanya, meletakkan tangannya pada ubun-ubun Adiba. Terlihat khusyuk ia melafadzkan doa untuknya.

Setelah selesai, Abi berkata, "Kita sholat dulu yuk!"

-----

"Nggh ...," desah Adiba menandakan kini dirinya sudah menjadi milik lelaki itu seutuhnya.

"Sakitkah? Kalau sakit abang berhenti dik," tanya Abi dengan nada cemas.

"Iya bang, tapi ..., lanjutkan saja," jawab Adiba sekedarnya dengan ekspresi yang menantang adrenalin. Matanya masih tertutup. Seakan tak sanggup melihat apa yang sedang terjadi. Sedang tangan Abi sibuk mencari sesuatu di sekitar pangkal paha wanitanya. Hingga sampai puncak aktifitasnya pun, tangan itu masih sibuk mencari-cari.

Wajah Abi mendadak lesu ketika melihat tangannya.

"Tak ada darah," racaunya perlahan.

Ditatapnya wajah wanita itu dari atas. "Dik ...."

"Kamu ..., perawan kan?"

Didapatinya wajah wanita itu berubah menjadi pucat pasi. Alisnyamengkerut, tangannya mencengkram sprei kasur erat-erat.
'Mengapa?'    

Pengantin PemaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang