Love is a Dog from Hell

Start from the beginning
                                    

Mrs. Wu menghela nafasnya. "Kau menyukainya?"

Tubuh Yifan bergetar. Jantungnya memompa lebih cepat. Tapi kali ini bukan karena adrenalin yang membuat dadanya berdebar –seperti ketika ia melihat senyuman merekah di wajah Chanyeol –atau seperti ketika pemuda itu menyipitkan matanya ketika tertawa. Debar yang menggempur dadanya ini terasa menyesakkan.

Mrs. Wu menyeka air mata yang entah sejak kapan menuruni pipi kirinya. Wanita berambut hitam panjang itu kini menolehkan kepalanya dan menatap Yifan.

"Apa kita harus kembali ke Cina lagi? Apa seperti itu yang kau inginkan?"

Yifan tidak menjawab.

"Mama tidak mengerti dengan cinta yang kau bicarakan."

Memangnya cinta macam apa yang Yifan bicarakan –atau rasakan sekarang? Pemuda itu terlalu lelah untuk sekadar berpikir.

"Aku menyukai Chanyeol." Kalimat itu seharusnya Yifan ucapkan pada Chanyeol langsung, dan bukan pada Ibunya.

Mrs. Wu memejamkan kedua matanya. Wanita itu sama lelahnya. Tetapi ia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan putra semata wayangnya itu menghancurkan dirinya sendiri.

"Itu semua hanya kebohongan, Yifan." Mrs. Wu kembali menyeka cairan panas yang tak henti-hentinya mengalir.

"Apa yang kau rasakan sekarang, Mama juga pernah merasakannya. Tapi asal kau tahu juga, oleh sebab cinta itulah sampai saat ini kau tidak pernah bertemu dengan Ayah kandungmu."

Gelas kaca yang ada di tangan Yifan itu lolos begitu saja dari genggamannya dan terjatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping, membuat suara nyaring yang memekakkan telinga.

Punggung Yifan yang berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah tanpa suara semakin mengingatkan Mrs. Wu pada dirinya yang masih muda –dan naif.

.

.

.

Suara ketukan pintu kamarnya petang itu membuat Mr. Park terlonjak dari tempatnya duduk. Laki-laki berusia paruh baya itu membetulkan letak kacamatanya sebelum bangkit dari tepi tempat tidur untuk membukakan pintu. Ia hanya berharap kali ini memang ada kabar penting yang perlu ia ketahui.

"Ada yang ingin menemui Tuan Park." Kata Bibi Kim, wanita yang sudah bekerja di kediaman keluarga Park selama bertahun-tahun itu.

"Apa ini wartawan seperti sebelumnya?" Tanya Mr. Park yang sudah begitu lelah menghadapi para pemburu berita yang ingin mengetahui kondisi terakhir putranya dan juga perkembangan kasus kecelakaan itu.

Bibi Kim membaca garis wajah Mr. Park yang memang terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Bibi Kim kemudian menggeleng.

"Dia mengaku sebagai teman tuan Chanyeol. Aku sudah menyuruhnya pergi, tapi—"

Kalimat Bibi Kim terpotong oleh helaan nafas Mr. Park. Tanpa ingin mendengar lebih lanjut, Mr. Park keluar dan menutup pintu kamarnya sebelum ia memberikan gestur pada Bibi Kim agar kembali ke tempatnya.

Langkah kaki Mr. Park gontai begitu ia menuruni satu per satu tangga yang menuntunnya menuju ruang utama. Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi karena pengalaman selama bertahun-tahun untuk tetap menjaga postur dan emosinya, tidak ada yang bisa tahu apa yang Mr. Park rasakan kala itu.

Yifan yang putus asa memutuskan untuk mendatangi rumah Chanyeol sebagai pilihan terakhir. Logikanya mengatakan bahwa Chanyeol tidak mungkin dirawat di rumah jika mengingat kecelakaan yang dialaminya cukup parah. Maka petang itu, dengan keyakinan di hatinya, Yifan mendatangi rumah Chanyeol sepulang hari pertamanya sekolah setelah diskors.

PARADISEWhere stories live. Discover now