Universe Has Gone

841 75 25
                                    

Jeonghan x Mingyu
.
.
.
.
.

Jeonghan setengah berbaring di ranjang, meskipun terlihat santai tapi sebenarnya wajahnya telah menghitam karena marah. Salah satu tangannya sedang mengendalikan panel keyboard untuk mengkritik konferensi pers militer yang sedang dia tonton. Celaan itu dimulai dari latar yang terlalu mencolok, warna seragam pejabat militer yang tidak sama persis, sampai pada Marsekal Korps Asap yang saat ini sedang menyampaikan berita kemenangan pun tidak lolos dari kejahatan jarinya. Seluruh rakyat kekaisaran gembira dan bersyukur bahwa perang telah dimenangkan, mungkin hanya Jeonghan satu-satunya yang tidak terpengaruh.

Puas setelah mengeluarkan semua amarah, Jeonghan tidak menonton hingga akhir namun berbaring dengan nyaman di ranjang. Dia menatap langit-langit yang berubah sebening kaca, menyuguhkan pemandangan semesta yang gelap oleh malam tapi gemerlap oleh bintang. Pesawat ulak-alik kadang terlihat naik turun, menambahkan jejak kehidupan. Jeonghan menyaksikan keindahan itu, tidak bisa menahan desahan karena cemburu.

Sudah tiga bulan, tetapi hatinya yang gelisah tidak dapat didamaikan. Bahkan untuk hal kecil, dia bisa uring-uringan sampai berhari-hari. Orang tuanya jelas khawatir, mereka menghubungi teman-teman terdekat Jeonghan lalu bersama-sama membujuk lelaki itu. Membawakan makanan kesukaannya, mengajaknya pergi mengunjungi planet tropis, memberinya berbagai macam hadiah atau apapun! Mereka sudah mencoba segalanya, tapi semua bujukan bahkan tidak membuatnya mengerutkan alis. Jeonghan keras kepala, memangnya siapa yang tidak tahu?

Melihat sikap Jeonghan yang tak tergoyahkan, mereka akhirnya hanya mendapatkan kepahitan dan menyerah untuk berusaha.

Jeonghan melalui hari-harinya sendirian. Dia sudah berusaha menahan diri untuk tidak mengkritik tapi lalu tidak bisa bertahan. Dia menyadari sepenuhnya bahwa emosinya tidak stabil, dia tidak ingin melukai semua orang jadi dia mendorong mereka menjauh.

Dia sesungguhnya sangat kesepian. Jauh dilubuk hatinya, dia tahu seseorang yang bisa menyembuhkan dirinya, mengisi kekosongan jiwanya. Dia telah berharap untuk mendapatkan panggilan, kapanpun, dia akan sangat bersyukur meskipun mereka tidak bisa bicara lama. Namun tidak ada yang datang, Jeonghan dibiarkan sendirian jadi bagaimana dia bisa menanggung hatinya yang terluka seperti itu?

Jeonghan melepaskan napas berat, mengusap matanya yang panas dan basah. Satu hari sebenarnya kembali terbuang, betapa menyedihkan, pikirnya. Senyum di bibirnya melengkung dengan suram. Sambil menggulung dirinya dalam selimut, Jeonghan menatap langit sekali lagi. Perlahan-lahan terlelap begitu saja.

.


Tidur Jeonghan terganggu oleh keributan. Dia sedang berada di rumah orang tuanya dan biasanya tidak ada banyak kebisingan. Jam satu pagi seperti ini, apa yang sedang orang-orang kerjakan?

Jeonghan bermaksud mengabaikan hal ini, namun pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Cahaya dari luar menerobos masuk, mengaburkan visi Jeonghan sejenak. Dia sudah bersiap untuk protes, tapi kemudian sosok tinggi familiar muncul setelahnya, membungkam Jeonghan begitu saja.

“Ah, Kau bangun?”

Jeonghan tidak menjawab. Pandangan matanya tidak mengungkap emosi apapun. Dia memandang lurus pada pria lain di ruangan itu, di dalam kegelapan terasa agak menakutkan.

Pria itu menutup pintu, berjalan ke arah Jeonghan sambil menyalakan satu lampu di sisi lelaki itu. Pria itu berlutut di lantai sementara dia mengambil jemari Jeonghan, tangan yang besar dan kasar menggenggam tangan yang halus dan rapuh, menunjukkan banyak perbedaan. “Sayang, maaf baru kembali. Kami memerlukan banyak waktu untuk memenangkan perang, tapi sekarang aku punya beberapa waktu untuk menemanimu.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GùshìTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang