Tanpa saling menyapa, Chanyeol segera menyalakan mesin mobilnya dan melaju. Kecanggungan mengisi mobil itu. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Yifan berdehem. Tenggorokannya tiba-tiba gatal.

"Aneh, ya?" Kata Chanyeol tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Yifan mencoba menemukan hal yang dimaksud Chanyeol aneh.

"Apanya yang aneh? Kau yang tiba-tiba muncul di depan rumahku atau kau yang seharusnya belum punya SIM, tapi menyetir mobil?"

Chanyeol tertawa mendengarnya. Gigi putihnya berjejer rapi.

"Aku punya sumber informasiku sendiri, 'kay? Jadi tidak sulit kalau hanya untuk menemukan alamat rumahmu."

Yifan mendengus mendengarnya. Tak sampai 15 menit, Chanyeol membawa mobilnya memasuki basement sebuah gedung untuk parkir. Gedung yang Yifan nantinya ketahui sebagai sebuah hotel.

"Jangan khawatir. Aku hanya parkir saja. Kita hanya perlu berjalan ke luar sebentar." Ujar Chanyeol yang seperti memahami pertanyaan yang tersirat dari wajah Yifan. Pemuda yang satunya hanya mengangkat bahunya, mengekor Chanyeol yang sudah berjalan mendahuluinya.

Begitu ke luar dari area parkir gedung itu mereka berjalan di trotoar jalan. Chanyeol memainkan kunci mobil di antara jemarinya sementara Yifan menyimpan kedua tangan di saku jeansnya. Angin malam musim gugur berhembus pelan, namun cukup membuat rambut cepak kedua pemuda itu mencuat berantakan.

Mereka berhenti di depan gedung lain yang berjarak beberapa meter dari hotel tadi. Yifan menduga gedung itu adalah sebuah bar. Dua orang petugas keamanan berbadan kekar menjaga pintu masuknya. Chanyeol mengeluarkan sesuatu dari dompetnya dan menyerahkannya pada Yifan. Sebuah ID card palsu. Chanyeol benar-benar datang dengan sebuah persiapan. Keduanya masuk tanpa hambatan.

"Apa aku terlihat 26 tahun? Bahkan orang ini terlihat botak." Yifan menggerutu ketika meneliti kembali ID card palsunya. Chanyeol yang sibuk melihat ke sekeliling bar yang sudah penuh itu mengacuhkannya.

"Ayo." Chanyeol akhirnya menemukan sosok yang dicarinya. Sosok itu seorang pemuda pendek dengan mata bulat dan alis tebal yang membuatnya terlihat galak.

"Biasa?" Tanya pemuda itu. Chanyeol mengangguk sebelum meraih kembali dompetnya.

Ia menyerahkan sejumlah uang dan menerima sebuah kotak dari pemuda itu sebagai gantinya. Yifan hanya mengamati dari samping.

"Satu untukmu, satu untukku." Chanyeol membuka kotak yang ia terima tadi ketika mereka memilih sebuah tempat duduk untuk dua orang di ujung bar itu. Dentuman musik yang mengisi seluruh ruangan itu tidak terlalu memekakkan telinga di bagian yang mereka tempati sekarang. Yifan mengamati sebuah pil berwarna putih yang Chanyeol letakkan di telapak tangannya.

"Hutangku sudah lunas." Chanyeol sendiri mengambil pil miliknya dan meletakkannya di atas lidahnya. Tangannya kemudian meraih segelas koktail yang tadi ia pesan.

Chanyeol mengangkat salah satu alisnya ketika mendapati Yifan yang belum menikmati 'hadiah' darinya. "Kau tidak suka yang jenis ini?"

Yifan kemudian tersadar dari lamunannya. Keringat sudah mulai memenuhi dahi Chanyeol dan membuat rambutnya terlihat sedikit basah.

"Aku bisa menghubungi D.O lagi kalau kau mau yang seperti kemarin." Chanyeol kembali mencari sosok pemuda yang tadi ditemuinya. Yifan menggeleng.

Chanyeol tiba-tiba tersenyum. "Apa aku salah paham di sini?"

"Maksudmu?"

Chanyeol menyesap kembali koktailnya sebelum membenahi duduknya dan menatap Yifan dengan kedua mata lentiknya. "Saat aku tahu kau dari Kanada lalu aku menemukan rokok di bukumu, aku kira kau tipe terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Itulah sebabnya aku mengajakmu ke sini, selain untuk membayar hutangku."

PARADISEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora