Chapter Two

2.7K 131 15
                                    

Hazel

 

Kami menempuh jarak 265.25 km untuk bisa sampai di Chicago. Atas teori tidur dapat memerangi kanker, aku pun menghabiskan waktu untuk tidur sedangkan Isaac dan Mom asyik mengobrol dengan diselingi tawa yang keras dan sebisa mungkin aku berusaha agar suara tawa mereka tidak mengganggu proses penyembuhan kankerku.

Gedung-gedung pencakar langit di Chicago menyambut kami. Aku dan Mom tercengang saat melihat gedung-gedung tersebut (aku tidak tahu Isaac tercengang atau tidak). Kami segera mengkemasi barang dan menuju apartemen yang sudah disewa Mom. Mom menyewa apartemen di dekat Millennium Park, taman kota yang berada di Chicago.

Millennium Park sangat ramai dikunjungi orang-orang. Mungkin karena itulah, pemerintah Chicago membuat taman ini sangat luas agar muat untuk banyak orang. Ditengah-tengah Millennium Park, terdapat Cloud Gate, bangunan unik yang merupakan ciri khas taman tersebut.

"Itu letak apartemen kita." Mom menunjuk gedung apartemen tinggi diseberang Millennium Park. Mom dan aku segera berlari menjauhi Millennium Park. Saking bersemangatnya, aku meninggalkan Isaac yang sedang mematung kebingungan. Isaac berjalan dengan tongkatnya sembari meraba-raba jalan.

"Hazel! Hazel! Kau dimana? Hey! kalau kau bukan perempuan, kau pasti sudah kupukul dengan tongkat ajaib penuntun jalanku ini. Hazel, jangan tinggalkan aku! Hazel!" Isaac berteriak panik. Aku tidak langsung menghampiri Isaac yang sedang panik, aku hanya tertawa melihat Isaac. Isaac terlihat sangat konyol.

Karena sangat kebingungan, aku melihat Isaac menabrak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap. Saat aku melihatnya, aku segera berlari menghampiri Isaac.

"Wohh. Maafkan aku." ucap Isaac.

"Tak masalah,bung. Apa aku bisa menolongmu?" ucap lelaki itu.

"Isaac! Oh, maafkan aku, dia temanku." ucap ku sembari memegang tangan Isaac dan menuntunnya.

"Hey Hazel! Darimana saja kau? Seharusnya aku melaporkan mu ke polisi karena telah meninggalkan orang buta ditengah keramaian seperti ini!!" ucap Isaac marah.

"Baiklah, baiklah. Maafkan aku, okay?" ucapku sambil tertawa. Aku terlalu sibuk mengurusi Isaac hingga tak sadar kalau lelaki itu menatapku terus.

"Mungkin, aku bisa membantu kalian?" ucap lelaki itu sambil tersenyum. Suara lelaki itu terdengar tak asing. Akhirnya, aku memandang lelaki yang dari tadi berdiri didepanku untuk pertama kalinya. Aku cukup terkejut melihatnya. Rambutnya berwarna coklat gelap (namun tak terlalu gelap) seperti rambut Augustus, tubuhnya sangat tinggi mungkin setinggi Augustus, senyumnya cukup untuk membuat semua perempuan meleleh saat melihatnya sama seperti senyum Augustus dan lelaki itu memang Augustus!

"A-A-Augustus? Eh, maksudku tak apa. Kami tak apa-apa ko." ucapku tergagap. Lelaki itu tersenyum dan aku berani bersumpah kalau senyumnya mirip sekali dengan Augustus.

"Emm. Okay. Oh ya, namaku Caleb. Caleb Prior." ucapnya sembari menjulurkan tangannya kepadaku. Aku terus memandang lelaki yang seperti Augustus itu. Akhirnya lamunan ku buyar saat ia mendengar namanya.

"Eh, Hai Caleb! Namaku Hazel dan ini temanku Isaac. Kami dari Indianapolis." Aku menyambut jabatan tangan Caleb. Tangan Caleb sangat hangat dan kembali mengingatkanku dengan Gus. Caleb tersenyum dan memandangku terus. Perasaan ku saja atau tidak, sepertinya Caleb mengenalku. Caleb terpaku memandangku terus. Mata coklat Caleb mirip sekali dengan Gus. Aku pun menatap Caleb. Rasanya seperti aku kembali memandang Augustus Waters.

"Woww, sepertinya aku dan Isaac harus pergi. Ibuku menunggu disana. Senang berkenalan denganmu, Caleb." aku bergegas meraih tangan Isaac dan menariknya pergi. Aku bisa merasakan kalau Caleb terus memandangi kami (tepatnya aku, sepertinya).

"Hazel, aku sudah pernah bilang padamu kalau aku tidak tuli kan?" tanya Isaac. Aku mengangguk dan aku baru sadar kalau Isaac tak akan melihat anggukan ku.

"Iya. Kau selalu mengatakan itu padaku berkali-kali. Untung saja telingaku tidak tuli karena mendengar itu terus." 

"Huhh. Ini serius, Hazel Grace Lancaster. Didasari karena telingaku yang masih sehat ini,  aku merasa suara pria bernama Caleb itu mirip sekali dengan suara sobat terbaikku, Augustus Waters. Benarkan itu?" Isaac tampak penasaran.

"Aku juga merasa begitu. Tahu tidak? Ia sangat mirip dengan dengan Gus. Matanya, rambutnya, tubuhnya, suaranya, dia benar-benar Gus. Rasanya, seperti melihat cinta pertama ku bangkit dari kematian."

"Ah. Andaikan kemarin aku tidak mengusir ilmuan gila yang telah membuat mata robot itu, pasti aku bisa melihatnya," Isaac menghela  napas dan terdiam. "Aku rindu sekali dengan Gus, Hazel.  tidak kah kau begitu?" lanjut Isaac sedih.

Aku pun mulai terdiam. Segala kenangan tentang Gus kembali datang dibenakku. Rasanya segala kenangan itu bisa membuat nafasku sesak. Aku sangat merindukan segala hal dari Gus. Sikap konyolnya, sikap romantisnya, bahkan sifat metafora nya. Aku sangat merindukan Gus.

"Iya, aku sangat merindukannya, Isaac. Aku sangat merindukan Gus."

-Continue-

P.s: Terima kasih udah baca ya, kawan :) Jangan lupa Vomments ya :) kasih kritik dan saran juga, okay?? Terima kasih banyak :)

Our Last Story (Story of Divergent and The Fault In Our Stars)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang