Koridor Baper

Magsimula sa umpisa
                                    

Koridor itu tidak terlalu panjang, terletak di antara gedung 9 dan gedung 7. Mengapa probabilitas pertemuan pemicu baper sangat besar? Karena koridor ini sebenarnya menghubungkan seluruh gedung di fakultas ilmu budaya ini. Dari mana pun dan hendak ke mana pun, koridor ini menjadi pilihan jalur yang paling singkat.

Awalnya aku menganggap Donna hanya mengada-ada. Maklumlah, Donna terkadang lebay dan mengabaikan logika. Namun hari ini, saat aku berpapasan dengan You-know-who di sana, aku mulai memikirkan kebenaran kata-kata Donna. Lebih dari beberapa minggu aku tidak berinteraksi dengannya. Sial, dari sekian banyak momen, kenapa harus sekarang? Saat aku sendirian dan bahkan ponselku ketinggalan di kosan?! Padahal kalau ada ponsel, aku bisa pura-pura sibuk menelepon atau membalas pesan sehingga tidak perlu melihatnya.

Think, Rara, think!

Haruskah aku mengambil buku di tas dan pura-pura sibuk membaca? No! Itu terlalu kentara. Atauka aku harus berjalan menunduk sambil menatap ujung sepatuku? Bagaimana kalau aku malah menabraknya? Atau sebaiknya aku balik badan dan menghindar sekarang juga?

"Raira,"

Damn!

Kenapa dia masih memanggilku? Berani-beraninga dia menyapaku setela apa yang dia lakukan? Kenapa dia tidak jalan lurus saja dan pura-pura tidak kenal? Apa lagi yang ingin dia bicarakan? Dan suara ini kenapa...kenapa terasa sangat akrab sampai membuatku merasa pulang ke rumah?! Sial!

Kutahan keinginan untuk menghela napas panjang. Dengan ekspresi datar, aku menoleh pada You-know-who yang tersenyum sedikit salah tingkah.

"Apa kabar?" Tanyanya.

Kurang ajar sekali dia berani menanyaiku kabar. Apa dia ingin tahu sedalam apa pisau yang dia tancapkan ke hatiku? Apa dia kepengin tahu berapa liter air mata yang kutumpahkan untuknya?

"Baik." Jawabku singkat, padat, dan jelas. Meski terang-terang itu dusta.

"Kamu punya waktu?"

Bagaimana aku harus mendeskripsikan penampilannya? Sebenarnya tidak banyak berubah. Gayanya masih dengan style jeans belel, kaos, dan kemeja yang kancingnya terbuka. Wajahnya masih setampan yang kuingat. Walau kini mimik mukanya menunjukkan kekhawatiran.

"Kamu punya waktu nggak?" Ulangnya.

Andai ini FTV, pasti sudah banyak anak-anak yang membentuk lingkaran di sekitar kami. Untung saja koridor sedang sepi.

"Tergantung." Jawabku.

"Bisa kita ngobrol sebentar?"

Apa yang ingin dia bicarakan? Dan apapun itu, kenapa harus menunggu dua minggu dulu baru dia menemuiku? Astaga, aku baru ingat. Cowok-cowok populer seperti dia pasti sudah terbiasa menghadapi cewek baper yang rentan PHP sepertiku. Lagipula, secara teknis dia memang tidak punya kewajiban untuk menjelaskan semuanya padaku. Helloo 2017, memangnya aku ini siapa? Pacar pun bukan. Cuma adik tingkat yang kebetulan berhasil dia PHP-in habis-habisan. Wow. Keren. Hebat. Spektakuler. Amazing. Warbiyasah.

"Raira?"

Baiklah. Aku mengerti sekarang. Untuk cowok-cowok seperti You-know-who ini bisa dihadapi dengan satu sikap yang keren juga. Oh ya, satu lagi. Aku juga akan berhenti memanggilnya You-know-who. Buat apa? Itu cuma akan membuat luka semakin abadi.

Aku tersenyum tipis. "Soal apa? Harus sekarang?" Tanyaku.

"Kamu sibuk?" Tanya Langit lagi.

"Aku ada rapat jurusan sih bentar lagi." Kulihat jam di tanganku. Rapat jurusan masih satu jam lagi. Tapi tak apa, khusus orang ini aku harus sibuk setengah mati. "Kapan-kapan gimana?"

Sejenak aku yakin Langit terkejut dengan perubahan sikapku. Mungkin dia heran karena aku terlihat biasa-biasa saja menghadapinya. Ck! Memangnya aku harus bagaimana Langit? Memasang wajah sendu, terluka, dan menangis tiba-tiba? Cih. Momen itu sudah kulalui dengan selamat.

"Nggak apa ya? Atau nggak Kak Langit whatsapp aja kayak biasa." Aku bersumpah akan mem-block kontaknya setelah ini. Meski aku tampil tegar saat berhadapan langsung, aku tak harus menghadapinya di dunia maya bukan? "Oke? Aku duluan ya? Udah ditunggu nih, Kak. Bye!"

Untung aku lumayan sering nonton TV series Amerika. Jadi aku tahu bagaimana cewek-patah-hati-tapi-tetap-tangguh bersikap. Dengan punggung tegak dan gestur santai, sambil mencangklong ranselku di satu pundak, aku meninggalkan Langit.

Satu hal yang aku paham sekarang. Jika Langit memang menganggapku penting, tentu dia tidak akan meninggalkanku dalam kebingungan seperti ini. Kok bisa-bisanya dia memelukku hangat tapi membiarkanku tahu soal ini dari gosip yang beredar? Tidak ada penjelasan sama sekali pula! Harusnya itu sudah jadi bukti yang jelas. Langit memang tidak pernah punya perasaan apa-apa padaku, dan aku saja yang kege-eran.

Mungkin Senja adalah cinta sejati Langit. Dan hal-hal sampah yang kami lakukan beberapa bulan belakangan hanya trik murahan Langit untuk membuat Senja cemburu. Yeah, tipikal kisah friendzone yang membosankan. Langit dan Senja. Langit Senja. Sebuah momen indah yang begitu dicintai umat manusia. Yeah, dari situ saja kelihatan kan semua ini bakal ke mana?

***

Ketika menulis angkatan dedek-dedek ini sungguh aku merasa sangat old. Hahaha

Sudah siap menghadapi Senin pagi, guys?

Kala Langit Abu-Abu (TERBIT)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon