Mentoring maba adalah sebuah sesi sharing yang dilakukan angkatan mentor kepada mahasiswa baru. Tahun ini seharusnya menjadi tugas angkatan 2014 untuk memandu mahasiswa baru angkatan 2016. Namun untuk mengakrabkan seluruh keluarga besar jurusan Filsafat, kami angkatan lain juga bergiliran untuk melakukan mentoring,

Revel tertawa kecil. "Jadi banyak waktu luang ya, Ra?"

Aku meringis kecut. Aku tahu pasti Revel sedang merujuk ke kisah cintaku yang tragis, layu bahkan sebelum berkembang. Namun alih-alih marah, aku malah ingin menertawainya. Yah, mungkin benar. Ketika sudah sampa titik tertinggi, sakit dan tawa itu kadang tidak bisa dibedakan lagi.

Tak lama kemudian senior-senior angkatan 2014 mendatangi meja kami. Sebenarnya di jurusan kami, senioritas sudah benar-benar dihapuskan. Adalah hal bisa kami nongkrong lintas angkatan, dan para cowok itu berbagi rokok.

"Vel, angkatan lo ada yang bisa main musik nggak?" Tanya Bimo, ketua angkatan 2014 yang gayanya bagai aktor korea. "Gimana nih buat Dies Natalis?"

Dies Natalis adalah momen ulang tahun Fakultas yang biasanya diisi dengan berbagai kompetisi dan hiburan untuk mahasiswa. Mulai dari kompetisi musik, teater, debat, hingga karnaval. Sebagai acara puncak, biasanya mengundang penyanyi terkenal. Tahun ini kudengar panitia mengundang Naif. Untuk sebuah acara musik yang gratis, aku cukup salut dengan keberanian dan kemodalan jurusanku ini. Untuk rangkaian acara ini, setiap tahunnya akan ada dua angkatan yang bertanggung jawab. Dan tahun ini, adalah tanggung jawab angkatan 2015 dan 2014.

"Angkatan gue ada Yos. Tapi pasti krik-krik banget kalau dia doang yang main."

"Angkatan gue siapa yaa...eh Ra, bukannya lo bisa ya?"

"Gimana?" Tanyaku, setengah terfokus pada kartu-kartu di tanganku.

"Lo bisa main biola kan? Mau nggak tampil buat festival musik di Dies Natalis?" Ulang Revel.

"Nanti kolaborasi sama Yos." Tambah Bimo.

"Ngeband maksudnya, bang?"

"Nah, nanti kita omongin lagi kalau ada Yos. Tapi lo mau kan?"

Aku mengangguk-angguk, dan memintanya untuk memberiku kabar selanjutnya.

"By the way, bang Yos itu yang mana sih?" Bisikku pada Heru.

"Yang berewokan. Gondrong. Jarang kelihatan. Ngampus aja jarang."

Jawaban Heru tidak membantu sama sekali. Tepat di sebelahku, Revel juga gondrong dan berewokan. Pras yang ada di ujung meja juga. Lalu ada Tobi dan Ega yang juga gondrong meski tidak berewokan. Bahkan Heru sendiri bisa dibilang cukup gondrong dengan jenggot tipis. Terlalu banyak cowok gondrong dan berewokan di fakultas ini dan Heru kurang sadar diri untuk bisa menjelaskan lebih spesifik lagi.

Namun baru saja aku akan minta keterangan lebih lanjut, sudut mataku menangkap sosok yang memasuki kantin dari pintu utara. Si You-know-who, tentu. Sontak bibirku terasa kering. Kuhela napas panjang, dan kuseruput es tehku hingga tandas. Apakah aku harus pergi sekarang? Nope. Dia tak akan senekat itu mendekatiku saat aku sedang berada di antara cowok-cowok jurusanku. Dan kurasa, aku memang sudah terlalu lama menghindari. Kalau kupikir-pikir, kenapa juga aku yang harus menhindar? Dia yang melakukan kesalahan, kok aku yang harus sembunyi. Nope. Aku akan tetap di sini, melanjutkan hidupku.

Come on, Raira. Semuanya kembali ke waktu sebelumnya. Kami hanya dua orang yang kebetulan mengenyam pendidikan di fakultas yang sama. Tak mesti saling sapa, tak perlu saling suka.

***

Donna pernah bilang bahwa ada sebuah koridor di kampus kami yang bisa memicu baper. Saking yakinnya, Donna menyebutnya dengan koridor baper. Sebuah koridor di mana probabilitas kita untuk bertemu seseorang yang spesial menjadi sangat besar.

Kala Langit Abu-Abu (TERBIT)Where stories live. Discover now