Senja Di Pantai Goa Cina

11 0 0
                                    

Saat sudah berada di ruas jalan besar yang lengang, Gerry melajukan sepeda motornya menuju Pantai Goa Cina yang berjarak dua kilometer. Setelah itu mereka melewati gerbang yang berornamen oriental lalu melewati rumah-rumah penduduk hingga yang terlihat sepi hingga sampai di pelataran parkiran sepeda motor yang luas dan sedikit kendaraan.

Mereka turun dari sepeda motor dan membayar tiket masuk sepuluh ribu per orang serta parkir lima ribu. Selanjutnya mereka berjalan kaki di medan jalan yang bertanah merah, penuh bebatuan.

Dalam hening yang membisu di antara hembusan angin yang berbisik pada rimbunnya pepohonan, mereka melewati deretan rumah-rumah penduduk dan salah satu masjid yang berarsitektur oriental.

Jenny menatap masjid itu, lalu bertanya, "Gerry, kamu sering shalat?." Gerry hanya menggelengkan kepalanya.

Lalu mereka melewati barisan warung-warung makan yang sebagiannya sudah tutup dan sebagian lagi masih buka. Sementara itu, gemuruh riak debur ombak terdengar menggelegar saat menghantam karang.

Mereka terus berjalan hingga melewati gerbang besar yang berornamen oriental saat memasuki Pantai Goa Cina yang bersanding dengan salah satu bukit yang menjadi tempat pertapaan salah satu orang cina sekitar dua puluh tahun silam yang tidak diketahui identitasnya hingga meninggal di dalam goa.

Mereka menghentikan langkah dan berdiri di dekat pos loket yang sudah tutup di antara kerumunan beberapa pengunjung. Jenny menatap penasaran ingin menaiki bukit tersebut namun pagar yang memugari bukit sudah terkunci rapat dengan rantai karena sudah terlalu sore.

"Jenny, kita ke sana saja," ajak Gerry.

Lalu mereka berjalan ke arah barat yang terdapat hamparan pasir putih yang membentang luas bersanding dengan sejumlah bukit karang yang ada di tengah laut, terhempas oleh riak debur ombak yang datang menggulung.

Mereka duduk di atas pasir putih tepi pantai tanpa alas sambil memandangi keindahan panorama alam Pantai Goa Cina yang nama sebenarnya adalah Pantai Rowo Indah.

Keunikan pantai ini tidak hanya terletak pada goa tersebut, namun sebuah fenomea alam yang langkah juga bisa disaksikan. Pantai Goa Cina memiliki gelombang air yang bersimpangan tidak karuan dari tiga arah.

Yaitu dari arah selatan, timur dan barat. Arus gelombang tersebut akan bertabrakan di antara Pulau Bantengan dan Pulau Nyonya sehingga terdengar suara gemuruh yang menggema.

Waktu pun terus bergulir, mereka masih duduk di atas pasir sambil mengarahkan pandangannya ke ujung barat melihat gumpalan-gumpalan awan yang bergerak lambat seolah menutupi matahari yang membiaskan cahaya merah meronahnya di langit biru yang mulai bergradasi.

Sesekali Gerry menatap wajah Jenny yang tersemat senyum kecil saat melihat senja yang lambat laun mulai terkikis dan matahari mulai mengecil lalu menghilang di ufuk barat menyisakan lembayung yang menggores langit biru.

"Sudah mau gelap sebaiknya kita kembali ke penginapan," ujar Gerry.

Dan mereka berdiri lalu berjalan melewati gerbang besar yang berornamen oriental, barisan warung-warung makan yang sudah tutup, rumah-rumah penduduk yang sepi serta rimbunnya pepohonan.

Dalam hening yang menggeliat, alunan suara adzan berkumandang dan mereka terus berjalan hingga di pelataran parkiran. Kemudian mereka menaiki sepeda motor lalu Gerry melajukan perlahan-lahan melewati rumah-rumah penduduk hingga di ruas jalan besar.

Tabir gelap malam mulai menyeruak, mengantarkan sepi di antara setitik cahaya lampu sepeda motor yang menerangi ruas jalan besar yang terbungkus gelap menembus keheningan yang menggelayut.

Sesampainya di penginapan, setelah memarkirkan sepeda motor, mereka turun lalu berjalan menaiki anak tangga hingga di lantai dua melewati pintu-pintu kamar yang tertutup rapat.

Kemudian Gerry membuka pintu kamar yang terkunci rapat dan mereka masuk ke dalam. Gerry menaruh dry bag di lantai lalu keluar dari dalam kamar.

Ia duduk di kursi ruang tamu yang begitu hampa di antara pintu-pintu kamar yang sangat tertutup rapat, kemudian membakar sebatang rokok dengan kepala yang bersandar di kursi dengan tatapan kosong menatap langit-langit ruangan.

Asap demi asap dihembuskannya dari dalam rongga mulut yang mengepul memenuhi ruangan lalu tersapu keluar oleh semilir hembusan udara yang masuk melalui pintu ruang tamu yang terbuka.

Beberapa saat kemudian, Jenny keluar dari kamar lalu duduk di sebelah Gerry dengan rambutnya yang terurai basah. Sejenak, Gerry menegakkan kepalanya yang bersandar dan mematikan bara api rokok di dalam asbak.

"Besok kita mau kemana lagi?", tanya Gerry.

"Entahlah, terserah kamu saja," jawab Jenny sambil mengambil air mineral dalam gelas di atas meja lalu meneguknya.

"Kita langsung ke Malang kota saja habis dari situ ke Batu," ujar Gerry.

"Ya udah, terserah kamu saja," ujar Jenny.

"Hmm, tapi besok kamu mau ke pantai lagi, gak?", tanya Gerry.

"Kayaknya tidak usah," jawab Jenny.

"Oke, deh," sahut Gerry.

Setelah itu, Jenny beranjak dan berjalan masuk ke dalam kamar. Sementara itu, Gerry tetap duduk dan kembali menyandarkan kepalanya di kursi sambil berpikir dalam suasana hening yang menyelimuti.

Beberapa menit kemudian, ia beranjak dari kursi dan berjalan masuk ke dalam kamar lalu melihat Jenny sedang tengkurap di atas kasur sambil memainkan ponselnya.

Gerry mengambil perlengkapan mandi dari dalam ranselnya lalu pergi ke kamar mandi untuk berbilas diri. Usai itu, ia kembali lagi ke dalam kamar, menaruh peralatan mandinya di lemari hias dan menjemur handuknya yang basah lalu duduk di sebelah Jenny sambil membuat rute pada ponselnya.

Satu jam kemudian, Gerry menaruh ponselnya di balik bantal lalu menarik selimut menutupi tubuhnya dari cengkeraman udara dingin AC yang berhembus sambil berkata, "Jenny, aku tidur duluan, ya." Lalu membalikkan tubuhnya memunggungi Jenny sembari memejamkan mata.

SeruntulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang