Takdir 7

34 4 0
                                    

"Chandra? Hei, duduk dulu, sini."

Chandra tersenyum lebar karena ternyata ia menebak orang yang tepat. Ia duduk di bangku sebrang Himeka. Menatap gadis itu dengan perasaan senang yang tak dapat Chandra pungkiri.

Himeka meletakkan headphone dan buku yang ia pegang ke atas meja, lalu mengulas senyum pada laki-laki yang saat ini duduk di hadapannya.

"Kamu ke sini sama siapa, Chan?" tanyanya kembali membuka percakapn terlebih dahulu.

"Sama temenku waktu masih kuliah di Jakarta dulu," jelasnya. "Kamu sendirian?"

Himeka hanya mengangguk, meraih gelas milkshake cokelatnya dan menyesap pelan. "Iya. Bosen banget di rumah. Mama nggak ngijinin aku mahat lagi, sih."

Chandra tau, ada nada kecewa yang dikeluarkan oleh gadis ini. Ia berusaha menampilkan senyum, bersimpati. "Mungkin ini demi kebaikan kamu, Him."

"Kebaikan apa, Chan? Orang aku nggak pernah aneh-aneh 'kan? Mama aja yang dari dulu nggak pernah suka liat aku jadi seniman."

Ingin rasanya Chandra mengatakan dengan jelas alasan mengapa gadis ini dilarang mendekati semua hal yang berbau dengan patung. Bahkan semua hal berbau seni yang dibuat langsung oleh tangan manusia.

Namun rasa sesak melihat ada yang berbeda dari setiap sikap Himeka lah yang membuat laki-laki itu tersenyum kecut.

Gadisnya tidak pernah senormal ini. Gadisnya adalah seseorang paling ekspresif yang pernah ia kenal. Gadis yang tidak pernah kenal takut dan kata menyerah. Bahkan ia sangat teringat ketika wejangannya mengenai alam dan karya pahatan Himeka memiliki sebuha relasi tak terlihat, membuat Himeka begitu bersemangat untuk mengikuti petualangan Chandra ke setiap gunung di Indonesia.

"Patung kamu punya nyawa, punya hati supaya memiliki makna yang bisa diterima setiap orang. Aku tau itu. Sama seperti alam. Punya nyawa. Punya hati. Setiap kamu memperlakukan alam itu dengan baik, maka dia akan memberikan ketenangan yang nggak akan kamu duga."

"Wah, ternyata ada Himeka. Pantesan aja Chandra langsung ke sini." Farhan datang ke tempat dua sejoli itu berada. Dia tersenyum lebar kea rah Himeka.

Awalnya memang Himeka mengerutkan kening ketika melihat kehadiran Farhan. Tapi sedetik kemudian senyumnya merekah. "Mas Farhan? Udah lama banget nggak ketemu." Gadis itu bangkit berdiri lalu memberikan pelukan hangat pada Farhan.

"Iya nih. Hampir setahun kayaknya, ya?"

Himeka tertawa renyah. Ia melepaskan pelukannya, lalu mempersilahkan Farhan duduk di kursi yang kosong. "Iya. Lagian Mas Farhan udah lama banget nggak ke Jepara."

"Nggak ada waktu senggang lagi buat ngadain pameran di sini. Makanya lama nggak muncul," jelas Farhan.

Ya, untung saja Himeka dapat mengingat Farhan dengan baik walau harus sedikit membutuhkan waktu. Setidaknya setelah insiden itu, gadisnya tak sepenuhnya pergi.

***

"HAH?! Ta-Tante serius?"

Terdengar suara isakan yang semakin jelas di ujung sana. "Tante serius, Hime. Kamu ke sini sekarang, ya? Tante mohon...."

Himeka jalan dengan panik meraih semua barang yang ia butuhkan. "Iya, Tante. Tante tenang ya, aku ke sana sekarang."

Kabar mengenai keadaan Chandra yang tak sadarkan diri membuat Himeka panik bukan main. Pasalnya, laki-laki yang itu bukan hanya pingsan semata, namun dokter di rumah sakit sudah memastikan jika Chandra koma.

Himeka meraih kunci mobil milik ibunya yang tergantung di garasi, lalu segera meluncur ke arah rumah sakit tempat Chandra dirawat.

Ini sudah memasuki hari kedua sejak Chandra ditemukan pingsan oleh ibunya di dalam kamar. Awalnya ibu Chandra mengira jika putranya itu tengah kelelahan hingga jatuh pingsan, namun ternyata koma tak wajar yang dialami oleh Chandra membuat wanita itu khawatir tak terkira

Untung saja jarak rumah sakit tempat Chandra dirawat tak jauh. Cukup dua puluh menit hingga akhirnya Himeka memarkirkan mobilnya dengan cepat, lalu berlari memasuki rumah sakit.

"133. Mana sih 133." Himeka masih terus berlari dengan panik memerhatikan setiap nomor yang terpasang di depan pintu rawat inap. Menabrak beberapa perawat yang tengah melintas, lantas meminta maaf walau hanya sekilas.

"Ah ini dia." Gadis itu menghela napas panjang lega. Namun ketika ia menyentuh gagang pintu kamar Chandra, ada sengatan aneh yang membuatnya menyentakkan tangan.

Himeka mengerutkan kening. Ia lalu tersadar satu hal ketika memerhatikan ruangan tempat Chandra dirawat. Seperti ada sebuah selubung tipis tak terlihat yang melingkupinya. Rupanya, kamar laki-laki ini tengah dijaga oleh seseorang.

"Himeka?" pintu kamar Chandra terbuka.

"Tante...." Himeka langsung memeluk ibu Chandra dengan erat. Ia meluapkan semua emosi yang ia tahan selama diperjalanan tadi. Perasaan khawatir, perasaan takut akan segala hal yang akan terjadi kedepannya.

Ibu Chandra mengusap punggung Himeka lembut. "Masuk ayo, Sayang. Chandra ada di dalem," tutur wanita itu pengertian.

Himeka mengangguk. Namun sebelum ia melangkah masuk, ia merapalkan beberapa hal dan memastikan jika selubung tipis itu tidak akan menyakitinya ketika menjejakkan kaki.

Di dalam sana, Chandra terbaring dengan banyak alat penopang kehidupan. Himeka mengigit bibirnya menahan sesak. Tidak, ini pasti hanya mimpi. Yang terbaring itu bukan Chandranya 'kan? Tolong seseorang, bangunkan Himeka sekarang juga dan mengatakan jika laki-laki yang tengah terbaring ini bukan Chandra.

"Chandra...." Panggil Himeka lirih. Gadis itu mendekati Chandra perlahan. "Chandra, kamu kenapa?" pertanyaan kecil yang berujung kesia-siaan. Hanya suara alat pendeteksi kehidupan saja yang menjawab pertanyaan Himeka.

Saat Himeka menyentuh tangan Chandra, ia merasakan satu hal tak beres lain lagi. Gadis itu menyeka air matanya dengan cepat, lalu menyentuh nadi Chandra.

Tidak. Ini terlalu tenang untuk seseorang yang dikatakan koma. Bahkan nadi Chandra terasa sangat lemah saat ini walau sudah ditopang oleh berbagai hal.

'Ssshhh....'

Himeka tersentak. Rupanya ada roh lain yang saat ini berada di tubuh Chandra. Roh jahat yang membuat laki-laki itu tak dapat kembali sadarkan diri. Himeka mencoba menghubungkan segala yang terjadi. Mulai awal semua, hingga aura kelam yang saat ini melingkupi kamar Chandra.

"Tante."

"Kenapa, Hime?" Ibu Chandra mendekati Himeka.

"Kalau boleh tau, sebenernya Chandra lahir waktu bulan purnama ya, Tan?" Himeka menatap wanita itu was-was.

"Iya. Emang kenapa, Hime?"

Sial.

"Tante, Chandra lagi di alam lain sekarang. Ini ada hubungannya sama gerhana bulan nanti malem," jelasnya begitu panik. Gadis itu menggigit kukunya dan berjalan kesana kemari.

Jika boleh mengatakan beberapa hal, sebenarnya Himeka takut mengenai apa yang terjadi pada Chandra adalah karena dirinya. Ia takut, pengelihatan yang terjadi padanya saat itu akan terjadi.

"Te-terus kita harus gimana, Him?" suara perempuan yang usianya sudah tak lagi muda itu bergetar. Begitu panik mendengar apa yang dikatakan oleh Himeka tadi ternyata berhubungan dengan dunia supranatural.

Himeka berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepala dengan yakin. "Biar aku yang jemput Chandra, Tante. Aku akan pastiin dia balik ke kita lagi."

***

TakdirWhere stories live. Discover now