Semangkuk Bakmi di Fakultas Sastra

2.2K 210 25
                                    

Dari semua hal yang hanya bisa kalian temukan di Fakultas Sastra, semangkuk bakmi gerobak tanpa nama ini mungkin adalah yang paling spesial.

Nggak ada yang tahu pasti sejak kapan gerobak bakmi ini mangkal di sini, atau kenapa kehadirannya sangat dinanti-nanti setiap mahasiswa yang kebetulan masih berada di lingkungan kampus setelah adzan maghrib berkumandang. Konon, dulu bakmi ini dikenal dengan sebutan Bakmi Sengketa, karena sebelum sang penjaja menasbihkan parkiran Fakultas Sastra sebagai tempat mangkalnya, ia biasa memarkirkan gerobak sederhananya ini di pinggir jalan yang membelah Fakultas Sastra dan FISIP.

Maka itu, jika kamu bertanya pada anak FISIP tentang bakmi ini mereka akan menyebutnya Bakmi Sastra; sebaliknya, jika kamu bertanya pada anak Sastra, maka mereka akan menyebut bakmi ini sebagai Bakmi FISIP.

Persoalan sengketa ini pada akhirnya selesai saat suatu petang sang penjaja bakmi tiba-tiba mengubah lokasi mangkalnya jadi di dalam lapangan parkir Fakultas Sastra. Spekulasi yang umum beredar terkait hal ini adalah, beliau diperingatkan oleh pihak kampus untuk tidak lagi berjualan di pinggir jalan karena disinyalir mengganggu pemandangan dan lalu lintas sekitar. Sebagai gantinya, mereka memperbolehkannya tetap berjualan, namun di dalam area parkir Fakultas Sastra—mungkin karena banyak juga staff dan dosen yang merupakan penggemar bakmi legendaris ini dan tidak rela kehilangan hidangan makan malam favorit mereka dikala lembur menghadang.

"Mas, bakminya dua ya. Dua-duanya pakai pangsit" ujarku kepada si abang bakmi yang tengah sibuk memasukkan gulungan-gulungan mie siap masak ke dalam panci berisi air mendidih.

"Makan sini bawa pulang, Mbak'e?"

"Makan sini, Mas. Saya duduk situ ya" aku menunjuk bebatuan berundak yang terletak tidak jauh dari gerobak bakmi itu berada.

"Siap, Mbak'e"

Petang ini langit tampak kemerahan. Aku pernah diberitahu seseorang bahwa semburat kemerahan itu menandakan bahwa langit sedang mendung. Belakangan, cuaca memang sedang nggak begitu bersahabat—seringkali mendung, namun jarang sekali hujan. Meski begitu, panas tetap saja membara saat matahari tengah tinggi-tingginya.

Sementara aku membuat diriku nyaman di atas bebatuan berundak, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas berniat menghubungi seseorang yang sudah berjanji akan menemaniku menikmati semangkuk Bakmi Sastra senja ini. Sebenarnya orang itu sudah berjanji sejak beberapa minggu yang lalu, namun selalu saja ada hal yang membuatnya belum bisa menepati janji tersebut—entah itu karena kelas tambahan, rapat, pertemuan dengan sesama pejabat kampus... macam-macam pokoknya.

Ya, aku memaklumi sih, mengingat jabatannya sebagai wakil ketua BEM memang mengharuskan dia hadir di berbagai acara kemahasiswaan, sembari tetap menyeimbangkan karir akademisnya. Ini tentu membuat agenda makan bakmi bersamaku masuk urutan ke-sekian di dalam to-do list hariannya.

Jam di ponselku menunjukkan angka 18.45. Nggak ada pesan terbaru darinya. Pesan terakhir masih tertanggal kemarin malam saat ia meminta maaf karena (lagi-lagi) ia mengingkari janjinya menemaniku ke perpus mencari bahan untuk tugas makalahku. Aku sudah memaafkannya, karena aku paham benar ada hal lain yang lebih penting yang harus ia lakukan hari itu daripada menemaniku ke perpustakaan.

"Besok aku bakal traktir kamu Bakmi Sastra sebagai bentuk permintaan maaf. Ya?"

"Kalau emang sibuk nggak usah, Kak. Aku udah maafin Kakak, kok"

"Justru itu yang bikin aku makin merasa bersalah, Ta. Aku udah keseringan ingkar janji sama kamu, dan aku pingin nebus dosa itu besok"

"Nebus dosa pakai bakmi?"

"Anggap aja itu pemanasan. Sisanya nanti aku cicil satu per satu"

Nebus dosa dicicil, memang cuma Ilham Januardi yang bisa. Dan aku bisa-bisanya juga mengiyakan.

Love and Other Misfits: A Collection of Short StoriesWhere stories live. Discover now