SATU

3.2K 202 56
                                    

Mataku masih menerawang ke arah air yang mengalir dari atap. Pagi ini benar-benar dingin. Kaki yang tadi ku bentangkan ke atas lantai, kini terlipat, kaki kiri di atas kaki kanan.

"Kamu serius mau menolak ini, Bayu?"

Suara berat itu seketika membuyarkan lamunanku. Ternyata pak Oji sudah lama berdiri di sampingku. Sekali lagi aku tertangkap basah sedang melamun. Padahal beberapa hari sebelum seminar untuk S2-ku, beliau sudah pernah protes tentang kebiasaan baruku ini.

Tangan beliau menyodorkan map plastik. Dari luar sudah bisa kutebak apa isinya. Pastilah formulir penelitian untuk S3 itu lagi.

"Saya, saya yakin pak" jawabku pelan.

"Nah, lihat" ujarnya menunjuk wajahku, masih dengan map yang digenggamnya. "Jawabanmu saja meragukan begitu"

Aku menunduk malu. Memang sulit menghadapi ahli micro-expression seperti beliau. Pasti ketahuan kalau ada yang salah dengan jawabanku ini.

"banyak yang harus saya urus pak" balasku. "Mungkin nanti kalau kondisi saya sudah stabil, saya akan segera melanjutkan pendidikan lagi".

"Kesempatan itu gak datang berulang kali, anakku, Senja Bayu" ucapnya menasehati.

Sejujurnya. Aku selalu beruntung berada di sini, mengenal pak Oji. Aku seperti menemukan jiwa ayah kandungku di dalam dirinya, yang justru tak pernah ada di dalam diri almarhum ayah biologisku.

"Tapi hutangku sudah terlalu banyak, ditambah hutang ayah dan ibuku" jawabku memelas. Mataku mulai berasa hangat. Rasanya seperti ingin menjatuhkan air mata sebanyak air hujan di halaman kampus yang sampai saat ini masih juga tak mau reda.

Pak Oji menghembus napas panjang. Aku tahu, dia pun menyadari kondisiku saat ini. ia pernah menawarkan pinjaman tanpa bunga padaku. Tapi itu justru akan semakin membebankanku. Sejak SMA aku sudah sering mendapatkan makan gratis di rumah beliau. Saat ibuku di rumah sakit pun, beliau bahkan membuka lebar-lebar rumahnya agar aku bisa seharian di rumahnya. Bahkan alasan aku masuk ke jurusan psikologi pun karena beliau. Aku ingin menjadi seperti dia.

"Kabari aku kalau kau butuh sesuatu, Bay" ucapnya sambil menepuk punggungku.

***

Terbaring aku menatap langit-langit kamar kontrakanku. Sesekali aku menoleh pada kipas angin di pojok dekat meja komputer. Kipas angin yang lebar diameter mukanya hanya sebesar dua kali wajahku, terus -terusan berputar berkeliling. Tapi yang membuatku terus menoleh ke padanya adalah suaranya yang mengganggu. Sudah dua minggu ini suara bising mesinnya benar-benar mengganggu.

Tapi jika harus mematikannya, aku tidak mungkin bisa tidur. "Kumohon jangan sakit sampai aku punya pekerjaan ya" ucapku pelan memujuk kipas itu.

Terkadang pujukanku itu berhasil membuatnya berhenti mengeluarkan suara aneh. Tapi terkadang justru ia bisa benar-benar berhenti total. Tak berputar sampai seharian.

Jarak antara atap dan lantai kontrakan ini benar-benar tak layak. Aku berdiri dan merentangkan tangan ke atas saja, ujung telunjukku bisa menyentuh atap tanpa harus berjinjit. Tapi inilah kontrakan yang mampu aku usahakan dengan sisa uang beasiswaku.

Entahlah, bergelar magister nyatanya tak banyak membantuku mendapatkan pekerjaan. Apalagi jika menginginkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku. Beberapa tumpukan Koran yang penuh dengan coretan pena, layar laptop yang penuh dengan tab terbuka pada situs pencarian lowongan kerja online menjadi bukti bisu bahwa aku sudah hampir frustasi mencari pekerjaan.

Apa yang harus aku lakukan?

Sebenarnya, dalam satu minggu ini aku sudah mendapatkan enam ratus ribu di rekeningku. Sama seperti masa kuliah dulu, beberapa artikel yang ku kirimkan ke rubrik khusus psikologi, ada yang lolos. Tapi bukannya tak bersyukur. Aku butuh lebih dari ini. sesuatu yang setidaknya bisa menjamin kehidupanku dengan layak hingga 2 atau 3 bulan ke depan. Itu saja.

SIBLINGWhere stories live. Discover now