Pak Vino keluar dari ruang meeting dengan notes cokelatnya. Saat memegang handle pintu, dia berbalik dan menatap gue, "Ajeng, tolong ke ruangan saya setelah jam makan siang."

"Baik, Pak," jawab gue.

Dia tersenyum tipis lalu benar-benar meninggalkan ruang meeting.

"Mau ngomong apa tuh si Bos sama lo? Bikin gue iri aja," Evelyn berbisik.

"Mana gue tahu," balas gue dengan bisikan juga.

Mbak Anya terlihat sibuk mengetik di laptopnya. Setelah itu, dia menegakkan kepala lalu menatap kami satu persatu.

"Kita akan meeting lagi begitu gue dan Robi bertemu dengan asisten Pak Gandi. Gue harap tim kreatif bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang segar dan tentu saja berbobot nantinya. Will, lo sudah dibantu Ajeng. Manfaatkan lulusan Inggris ini demi keberhasilan program kita," ujar Mbak Anya sambil terkekeh.

Gue berdecak sementara yang lain tersenyum.

"Ada pertanyaan?" tanya Mbak Anya sebelum benar-benar menutup rapat.

Kami kompak menggeleng.

"Wajar aja nggak ada pertanyaan, sudah jam makan siang ternyata," lanjut Mbak Anya dan kami seruangan langsung terbahak.

Ini yang membuat gue betah kerja di Gayatri TV. Mereka punya selera humor yang baik.

Gue makan siang bareng Evelyn. Nana sudah punya janji dengan pacarnya yang kerja satu gedung dengan kami. Yang lain pada makan di kafetaria kantor. Gue diajak-setengah dipaksa-Evelyn buat makan bakso di belakang gedung yang lagi happening.

Dandanan gue seratus delapan puluh derajat bedanya dengan Evelyn. Walaupun sama-sama pakai seragam kantor, namun wajah Evelyn penuh riasan namun tetap cantik sementara gue hanya memulas make up sederhana. Tas Evelyn juga super kecil tapi cukup merogoh kocek sementara gue betah dengan ransel Jansport.

Evelyn ini laris manis banget di kantor. Tiap lantai ada aja yang naksir. Mulai dari golongan staf, hingga manajerial. Tapi, hatinya sudah tertambat pada Pak Vino.

"Lo cakep-cakep begini ternyata masih mau makan bakso pinggir jalan,ya," ungkap gue sambil memasukkan sambel ke dalam mangkuk berisi bakso.

"Nggak ada hubungannya cantik dengan makan bakso di pinggir jalan," jawab Evelyn sambil mengusap titik-titik keringat yang mulai timbul di keningnya. "Lo ngomong seakan lo nggak cakep aja. Benci gue tuh sama orang kayak lo. Cantiknya effortless."

"Effortless dari Hongkong?" kata gue lalu mengunyah bakso ke dalam mulut.

Evelyn mengangguk. "Lo kira acara kira ratingnya bagus cuma karena konten kita menarik?"

"Of course. Konten kita segar, tidak terlalu kaku, tapi tetap inspiratif," jawab gue tegas.

Senyum kucing Evelyn timbul. "Bukan cuma itu, Jeng. Acara kita punya tiga host cantik dan menarik yang bikin mata baik cowok maupun cewek betah di depan TV. Lo nggak tahu aja mulut-mulut kameramen pada menganga begitu liat lo pake rok dan blazer plus make up penuh."

Gue tertawa. Evelyn ini tingkat kepercayaan dirinya emang sudah level advanced.

"Apa kata lo aja deh," gue lebih baik menikmati bakso ini.

Ngomong-ngomong, baksonya emang enak, lho. Nggak terlalu mahal juga. Wajar aja banyak yang beli.

"Tapi ya, gue udah cakep begini, Pak Vino nya sekali pun nggak pernah tuh ngelirik gue. Padahal kan kita sama-sama single and available. Kurang apa coba gue?" gerutu Evelyn lagi.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now