14 - Gloomy Saturday

Start from the beginning
                                    

“Ah, apa lagi ini.”

Seungmi, mari bertemu besok. Ini kesalahpahaman, aku akan menjelaskan semuanya.

Tidak perlu Oppa. Itu adalah urusan pribadimu, aku tidak perlu tahu tentang itu.

Minhyuk menyerah. Ditatapnya pesan terakhir dari Seungmi sambil menghela napas panjang. Ia tahu betul, gadis itu jelas-jelas marah padanya. Gadis itu pasti berpikir dirinya telah mempermainkan perasaannya.

***

Sudah satu jam Seunghee mengotak-atik program aransemen musik yang sudah di-install oleh Hyunsik kemarin dengan bantuan buku panduan, tapi ia belum mengerti juga cara menggunakannya. Ini benar-benar hal baru untuknya. Sebagai mantan pianis klasik,  yang ia tahu tentang musik adalah menulis dan membaca deretan not balok di dalam partitur lalu memainkannya diatas tuts piano.

Tapi mengenai komposisi musik dengan program komputer seperti ini, Seunghee benar-benar blank. Sedikit menyesal kemarin ia tidak belajar dulu bersama Hyunsik.

“Apa aku minta bertemu saja hari ini untuk belajar, ya?” gumamnya sendirian sambil menyeruput coklatnya yang sudah dingin. Ia segera meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Hyunsik.

Oppa, hari ini bolehkah aku ke studiomu? Aku benar-benar kebingungan menggunakan program ini :(

Ia menyimpan ponsel dan bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kamar untuk melihat cuaca hari ini. Sudah pukul sepuluh pagi, tapi sepertinya cuaca tidak terlalu bagus. Matahari masih tertutup gumpalan awan yang mulai menggelap, sepertinya akan turun hujan deras. Cuaca yang sangat tidak cocok untuk ‘kencan’.

Seunghee termenung. Dipikir-pikir, sejak menjalin hubungan dengan Hyunsik, ia belum pernah benar-benar pergi kencan dengan pacarnya, kecuali kencan pertamanya di kampung halaman waktu itu. Saat bertemu, yang mereka bahas tidak akan jauh dari topik musik. Tidak pernah membahas hal-hal romantis seperti pasangan kebanyakan.

Bahkan setelah ia pindah ke Seoul, mereka tidak begitu sering bertemu karena kesibukan masing-masing. Tidak ada bedanya dengan long distance relationship.

“Apakah begini sudah benar?” gumamnya, sendu.

Ponselnya bergetar. Sebuah balasan dari Hyunsik.

Ah, maaf Seunghee, hari ini aku benar-benar sibuk, beberapa temanku pun sedang ada di studio untuk mengejar deadline. Senin saja, bagaimana?

Baiklah. Sampai bertemu hari Senin.

Ya. maaf, ya.

Seunghee hanya menghela napas panjang, mengunci layar ponselnya dan melemparkannya ke atas ranjang. Lalu kembali duduk di hadapan laptopnya dengan ekspresi kosong.

***

Seungmi masih menggulung dirinya dengan selimut, padahal sudah pukul satu siang. Ponselnya tergeletak begitu saja dan dibiarkan mati karena kehabisan baterai. Perutnya sudah perih karena belum diisi apapun sejak pagi. Tapi tubuhnya begitu malas untuk beranjak bangun dari ranjang. Kepalanya pun terasa begitu berat.

Semalaman ia tidak bisa tidur, hanya berbaring di ranjangnya sambil menangis sesenggukan meratapi hal yang tidak jelas.

Tok tok tok.

“Seungmi,” terdengar suara Seunghee dari balik pintu, “Kau sudah bangun? Bolehkah aku masuk?”

Ia tidak menjawab. Seunghee pasti akan masuk sendiri tanpa izinnya, pikirnya. Namun setelah beberapa saat, tidak kunjung terdengar juga suara pintu kamarnya terbuka.

“Ya, masuk saja.” lirihnya.

Akhirnya pintu kamar terbuka. Seunghee masuk sambil membawa senampan makanan, lalu menaruhnya di atas nakas.

“Kau kenapa? Kau sakit?” Seunghee menaruh punggung tangannya di dahi Seunghee. “Astaga, kau demam.”

Tanpa instruksi, sang kakak segera pergi ke luar kamar untuk mencari obat penurun demam untuk adiknya. Sementara Seungmi menatap nampan makanan di sampingnya dengan tatapan kosong. Perutnya begitu perih dan lapar, tapi lidahnya terasa hambar.

Seunghee kembali dengan sebungkus tablet dan segelas air putih. “Habiskan makanannya, minum obat lalu istirahat. Kalau demammu  belum turun, kita pergi ke dokter.”

Seungmi menatap Seunghee yang sedang menata makanan untuknya. Sejak pertengkaran kecil kemarin, mereka semakin jarang bercengkrama, seperti perang dingin. Ia akui bahwa selama ini tingkahnya begitu kekanakan, namun seolah ada dinding kokoh di hatinya, ia sama sekali sulit mengucapkan maaf atau bahkan sekedar memulai cengkrama dengan kakaknya.

“Terimakasih,” lirih Seungmi. Seunghee menoleh sejenak ke arah Seungmi dan tersenyum lebar.

“Kalau kau berterimakasih, habiskan makanannya, ya?” jawabnya sebelum meninggalkan kamar.

***

“Ah, lelahnya.”

Wanita berpakaian olahraga itu baru saja pulang dari tempat gym apartemennya. Sesekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan sebuah handuk tipis. Ia tak peduli dengan beberapa pasang mata yang memperhatikannya sepanjang perjalanan karena kekaguman balutan baju olahraga pada tubuhnya yang proporsional. Ia sudah terbiasa dengan itu.

Ia memasuki apartemennya yang luas nan sepi itu, pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Kecuali kebiasaan minum alkohol nya yang berlebih, Yura sangat memperhatikan pola hidup dan pola makan untuk menjaga proporsionalitas tubuhnya, tentu saja, karena itu aset terbesarnya sebagai seorang model.

Tangannya merongoh ponsel dari saku jaket training.

Schedule, schedule.. ah, hari ini aku tidak ada schedule sampai malam. Apa aku harus mengajak Minhyuk Oppa makan siang bersama?”

Jempolnya urung menekan tombol telpon ke kontak Minhyuk saat tiba-teringat dengan kejadian kemarin sore. Wajah sumringahnya berganti menjadi sendu.

“Astaga, kemarin kan dia marah padaku. Menyebalkan.”

Ditenggaknya segelas air putih hingga tandas, lalu menghentakkan gelas bening itu ke bar dapurnya. Beruntung gelasnya tidak pecah.

“Lee Minhyuk. Padahal tinggal sedikit lagi kau jatuh hati padaku. Mengapa anak kecil itu harus muncul dan membuat kekacauan yang tidak berarti?” Ia bergumam sendirian. “Ah, aku harus makan sendirian lagi.”

—TBC—

B[L]ACKSTREETWhere stories live. Discover now