Stalker

82 15 3
                                    

Luna terlihat akan menaiki tangga dengan tangan kanan membawa cangkir berisikan kopi susu. Ia yang biasanya jarang meminum minuman mengandung kafein terpaksa meminumnya karena malam ini banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan. Saat baru saja mencapai anak tangga ke tiga, ia mendengar pintu pagar di luar rumah berderit dan menutup dengan suara cukup keras. Ia menduga kalau yang baru saja datang adalah Reynata, karena kedua saudari lainnya sudah berada di kamar masing-masing sejak pukul 8 malam.

Akhirnya perempuan yang selalu memasang raut datar itu kembali turun karena berniat membukakan pintu rumah untuk saudarinya. Ketika sudah berada di depan pintu kayu itu, ia berhenti saat mendengar suara gaduh yang diciptakan dari luar pintu. Ia mendengar suara gemerincing kunci yang sepertinya baru dikeluarkan oleh Reynata, mungkin dari dalam tasnya. Kemudian, sebuah benda jatuh, kemungkinan besar adalah kunci yang baru diambilnya. Reynata mengaduh seraya mendecak sebal. Tak tahan dengan suara bising tersebut, Luna segera membukakan pintu dengan kunci yang tergantung pada paku yang terpasang tak jauh dari daun pintu.

"Berisik amat, sih... Udah malam, nih." Tanpa basa-basi Luna menyampaikan rasa terganggunya dengan suara yang direndahkan.

Reynata menengadahkan kepalanya. Luna mengernyitkan kening ketika melihat raut takut serta peluh keringat yang membasahi wajah adiknya. Padahal cuaca malam yang sudah sunyi ini cukup dingin bagi siapapun yang masih berkeliaran di luar rumah, tapi Reynata justru bisa berkeringat. Nafasnya terengah-engah, menandakan perjalanannya ke rumah dilakukan dengan sangat buru-buru.

"Lu kenapa?"

Tanpa menjawab, Reynata segera meraih kuncinya dengan kasar kemudian menarik tangan Luna yang kosong untuk ikut masuk ke dalam. Setelah keduanya di dalam, Reynata buru-buru mengunci kembali pintu rumah.

"Kenapa sih?" Luna mulai kesal karena perlakuan Reynata membuat isi kopinya sedikit terlonjak dari dalam cangkir dan membasahi jari-jarinya.

Reynata masih mengabaikan pertanyaan saudaranya. Ia mengintip dari jendela kecil dekat pintu dan rak sepatu. Matanya bergerak-gerak melihat keadaan di luar. Semakin kesal karena terus diabaikan, Luna menarik baju bagian belakang Reynata supaya menjauh dari jendela.

"Jangan ngabai'in omongan gue." Omelnya dengan suara pelan, karena sekesal apapun dirinya, tetap tak ingin kalau suaranya sampai membangunkan Karin dan Miki yang mungkin sudah terlelap tidur.

"Ada yang ngikutin gue, Lun daritadi." Akhirnya Reynata memberikan jawaban dengan suara gemetar.

Mendengar pengakuan seperti itu, Luna pun ikut memeriksa ke luar dengan mengintip dari jendela. Benar saja, ia menemukan sebuah mobil berwarna hitam terparkir di depan rumahnya. "Sekarang jam berapa, Rey?" tanya Luna.

Reynata melihat pada layar ponsel yang sebelumnya diambil dari dalam saku celana jeansnya, "Jam setengah sebelas."

"Jam segini, kok penjaga komplek masih ngizinin orang luar masuk." Gumamnya.

"Mungkin dibayar kali sama dia, jadi bisa masuk." Balas Reynata.

Luna mengalihkan perhatiannya, "Lu tahu dia siapa? Kenapa bisa ngintilin sampai ke sini?"

"Dia teman gue, Lun."

Luna kembali mengernyit, "Teman? Terus kenapa lu ketakutan begini, samperin sana suruh balik. Enggak sopan, malam-malam begini mampir di depan rumah orang." Omelnya. Saat hendak kembali ke kamarnya, Reynata menarik tangannya kembali.

"Enggak berani gue, Lun. Walaupun dia teman gue, tapi dia agak... aneh."

"Udah tahu aneh, ngapain dijadiin teman? Nyusahin diri sendiri aja. Buruan keluar, dan suruh dia pulang."

The Diary of Lovely SistersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang