Itu adalah minggu pertama sejak kedatanganku untuk berdinas sebagai bidan di puskesmas desa Teluk Ketapang, Pemayung, Kabupaten Batanghari.

Kondisi desa yang terbagi dua oleh sungai memaksaku untuk mendatangi penduduk di seberang dengan menggunakan perahu kayu milik penduduk setempat, parahnya arus sungai sama sekali tidak bersahabat untuk kami lewati. 

“Hari ko arus aeknyo aneh, bu bidan.” Mang Bujang, si tukang perahu mengutarakan keheranan atas fenomena aneh yang ternyata bisa dia rasakan. “Dak do angin dak do hujan, ntah ngapola aek ko beriak-riak,” sambungnya lagi

Aku tersenyum kecut, seraya bertanya-tanya sendiri, haruskan aku memberitahukan penyebab yang sebenarnya pada lelaki itu?

Jika pada kenyataannya seekor buaya jadi-jadian sedang beraksi menampar-nampar permukaan sungai dengan ekornya yang panjang, besar, dan terlihat berat hingga membuat gelombang yang cukup besar pada aliran sungai.

“Hati-hati sajalah, Pak.” Komentarku pada akhirnya.

“Sayo ko biaso e dapet firasat, aek mak iko ni petando Batanghari nak minta korban.”

“Oh ya?”

“Iyo nianla bu bidan, dak salah lagilah dugoan tobo ni biaso e.”

Aku ingin menimpali perkataan itu untuk menenangkannya ketika kulihat sosok di tengah sungai yang tengah berpesta diantara arus itu menyelam ke dalam air untuk kemudian secara mengejutkan muncul tepat di samping perahu yang aku tumpangi.

Aku mencoba untuk tidak menunjukkan reaksi yang seharusnya normal, tapi jantungku berpacu dalam detak keras ketakutan saat melihat tangan kokohnya bertumpu pada sisi perahu hingga membuatnya sedikit oleng.

Dari sudut mata aku melihatnya menyeringai menatap ke arah Pak Bujang dengan mata emas yang memancarkan kilau intan yang berbinar oleh kekejian yang anehnya justru membuatnya terlihat seindah pemandangan sungai di kala senja. Begitu tenang dipermukaan namun juga menyimpan bahaya dan penuh dengan misteri.

Kali ini kau membawakan mangsa yang begitu elok untukku, tukang perahu.

Suara tawanya yang kejam terdengar datar tanpa nada, membuatku terpaku, disaat benakku berusaha mencerna arti dari kalimat yang diucapkannya dengan suara lembut yang terdengar bagai gema dalam kepalaku.

Mangsa.

Siapa yang dia maksud dengan mangsa!

Pak Bujang kah? Tapi dia bilang ... Ya Tuhan.

Apa yang dia maksud adalah aku!!

Gadis yang cantik, lagi-lagi aku mendengar gema itu. bahkan bisa kurasakan tatapannya yang tertuju langsung padaku begitu dalam hingga mampu membuat seluruh bulu kuduk berdiri. Kepalaku terangkat ke depan, alih-alih ketakutan, anehnya sekarang kemarahan justru mengusikku dari dalam.

Kemarahan yang begitu panas hingga terasa meluap-luap bagai hendak keluar dari dalam diriku. Perlahan tapi pasti aku menoleh kearahnya ... menentang langsung sepasang matahari emas itu. Dengan sangat terang-terangan, hingga membuatnya terdiam. 

My Story Book (One Shoot)Where stories live. Discover now