Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gua ada, tapi nggak bisa buat ngelunasin semuanya."
"Gua udah bilang, nggak usah dilunasin, Bang. Emang dia siapa sih? Dia kasih apa sih, selain hidup kita yang udah hancur gini?"
Kefas memijat keningnya untuk menghalau semua sakit kepala yang hinggap. Cowok itu paham bagaimana keadaan mental Galang saat menerima semua kenyataan itu.
"Lo mau dipukulin sampe K'O?"
Galang terdiam. Lebam yang kemarin saja, belum sembuh.
"Dia nggak akan mukulin gua sampe K'O. Kalau gua lewat, siapa yang mau bayar utangnya?" tanya Galang.
Kefas mengakui, Galang sedikit benar.
"Lo nggak usah balapan dulu deh, Lang."
Galang terdiam beberapa saat, berusaha mencerna apa maksud kalimat Kefas.
"Maksud lo... gua jual aja motornya, gitu?" tanya cowok itu dengan nada datar, but little do Kefas know, Galang emosi.
"Nggak gitu. Maksud gua, kalau lo balapan, dan lo kalah, gimana lo mau bayar taruhannya, Lang? Udah cukup jangan mempersulit keadaan yang udah sulit. Kalau lo emang masih sayang sama motor itu, gua nggak nyuruh jual, gua pelan-pelan bakal kumpulin uangnya. Gua cuma mau, jangan berulah," jelas Kefas.
"Ya."
Kefas tersenyum lega. Setidaknya, satu beban terangkat dari pundaknya. Entah berapa lama dia harus mengumpulkan sejumlah nominal yang diminta para preman itu.
"Susah, ya, nutupin semua ini dari Nathan."
Galang melirik ke arah pintu kamar adiknya yang tertutup rapat.
Galang yakin, mental Nathan dipaksa bertumbuh lebih cepat dari yang seharusnya. Nathan harus menerima semua kenyataan yang begitu pahit, bahkan untuk Kefas dan Galang sekalipun. Nathan dituntut harus memiliki pikiran dan sikap yang lebih kritis, dewasa, dan tepat untuk menjaga kewarasannya. Galang sangat menyayangkan hal itu. Galang ingin, Nathan bertumbuh selayaknya anak biasa, tapi memangnya Galang bisa berbuat apa?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
