White & Grey #2

124 8 0
                                    

White mengunci pintu dojo kemudian menyelipkan kunci di saku celana seragamnya. Sensei Murota sudah kembali ke kediamannya, sementara anggota kelas kendo lainnya sudah bubar sejak dua jam yang lalu. Ia menengok arlojinya, pukul sembilan malam. Cukup larut untuk kembali melompati tembok sekolah demi mengambil motornya yang diparkir di sana. Entah apa kata satpam nanti. Selama ini, ia hanya menjawab pertanyaan satpam dengan menggangguk, menggeleng dan diam.

Letak Murota Dojo dengan sekolahnya hanya berjarak empat ratus meter. White memilih sekolah ini karena letaknya yang dekat dengan dojo. Awalnya ia benar-benar girang ketika dengan mudahnya ia bisa melompati pagar tembok samping sekolah untuk bisa membolos pelajaran ke dojo. Meskipun akhirnya ia menyesal kenapa memilih sekolah ini.

Di tembok yang membatasi jalanan dengan area dalam sekolah, ada pot besar bunga bugenvil yang menghiasi trotoar. White memijakkan kaki di bibir pot tersebut, melompat ringan sampai tangannya meraih tepi atas tembok sekolah, lalu menarik tubuhnya sampai ke atas tembok. Matanya menyapu ke sekeliling sebelum ia meluncur turun ke dalam area sekolah. White melakukannya dengan lincah, tanpa banyak energi dan tanpa berkeringat setetes pun. Seakan tubuhnya seringan bulu.

Di dalam area sekolah yang gelap, White berjalan pelan menuju parkiran yang menyisakan motornya saja. Di atas motor, tasnya tergantung miring. Alan, sahabatnya yang selalu mengemasi barang-barang White dan meletakkannya di motornya setiap kali dirinya menghilang tiba-tiba dari kelas.

"White, kok baru pulang?" tanya Pak Seto si satpam sekolah saat melihat White menuntun motornya ke gerbang. "Ngerjain tugas di Lab Komputer lagi?"

White mengangguk kemudian menyalakan motornya.

Pak Seto mengenal White sejak White menjadi murid baru SMA. Hampir lebih dari dua tahun yang lalu. Saat White sering nongkrong dengan teman-temannya di pos satpam ketika jam istirahat. Mengobrol dan bercanda selayaknya remaja SMA.

Di mata satpam sekolah itu, White terlihat lebih istimewa daripada murid lainnya. Raut wajah White terlihat cerdas, seperti seseorang yang suka duduk diam dan berpikir. Seperti seseorang yang akan berpikir sebelum bertindak. Mata hitam pekatnya cemerlang, namun pandangan matanya selalu waspada dan ia adalah salah satu murid yang selalu sopan padanya.

Namun, sejak pertengahan kelas sepuluh, White berubah. Beberapa guru mengeluhkan nilainya yang turun drastis. White jarang terlihat bersama dengan teman-temannya. Sorot matanya tak lagi bersemangat, White selalu menunduk murung dan tak jarang Pak Seto memergokinya menyendiri di sudut-sudut sekolah yang sepi.

Kadang Pak Seto bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan anak laki-laki itu. Namun, sudahlah. Remaja, pikirnya.

XXX

White memasukkan gigi motornya, kemudian berpamitan pada Pak Seto yang mengamatinya sampai menghilang ke dalam keremangan malam. Memasuki jalan besar, White memacu motornya lebih kencang seperti biasa. Berharap, ia bisa tewas saat itu juga.

Namun kesempatan itu belum juga terjadi padanya.

Sesampainya di kos, White memarkir motornya di dalam garasi. Kemudian menaiki tangga ke lantai atas. Sejak kelas satu SMA, White pergi dari rumahnya dan memutuskan untuk tinggal sendiri. Awalnya memang ditentang oleh keluarganya, namun lambat laun mereka bisa menerima. Karena jika tidak menerima pun tak ada gunanya. Beberapa kali ayahnya menyuruh kaki tangannya yang berotot untuk membawa paksa White pulang ke rumah, namun, itu tindakan bodoh. White menghajar mereka semua hanya dengan sebilah kayu dari papan reklame.

Ayahnya meminta agar White sekali-sekali pulang ke rumah. Awalnya memang seperti itu dan membuat ayahnya lega. Tetapi tidak ada yang menyadari bahwa White hanya kembali ke rumah untuk mengambil sedikit demi sedikit barang yang diperlukannya. Sampai akhirnya, selama hampir enam bulan ini ia tidak kembali ke rumah.

Kamar kos White terletak di lantai dua di sebuah bangunan bertingkat. Terdapat empat kamar yang berderet dengan lorong sebagai penghubungnya. Kamar White terletak di urutan ke dua dari tangga di deretan kamar itu.

Seperti malam-malam biasanya, malam ini pun karidor terlihat sepi senyap. Hanya lampu depan kamar kos ke tiga dari tangga yang menyala, itu pun tidak terlalu terang sehingga hanya menghasilkan cahaya remang-remang di koridor itu. Seperti tak ada kehidupan. Maklum saja, kebanyakan penghuni kos adalah karyawan yang bekerja pada sore hari.

White menaiki anak tangga satu demi satu. Namun, di beberapa anak tangga sebelum White sampai lorong, langkahnya terhenti karena melihat bayangan seseorang yang bersandar di tembok lorong depan kamarnya.

"Keluar," ujarnya tenang namun penuh penekanan. Ia tahu ada seseorang yang sedang menunggunya. Ia memberi jeda beberapa detik, namun tak ada respon.

"Saya tahu kamu ada di sana. Kalau kamu enggak mau terluka, lebih baik keluar sekarang juga," lanjutnya.

Terdengar langkah kaki terburu yang mendekat. Seorang pria kecil berambut kelabu menghampirinya sambil berbicara terburu-buru. Tampak sekali ketakutan.

"Mas White ini saya, ini Mang Jajang, saya jangan dipukuli!"

"Mang Jajang? Ngapain di sini?" Sahut White heran.

Dilihat dari kondisinya yang sudah kucel dan berantakan, sepertinya sopir ayahnya ini sudah lama menunggunya. Dan mungkin sempat tertidur di lantai koridor.

"Anu Mas, Bapak nyuruh saya nyari Mas White. Hari ini ada pertemuan dengan rekan-rekan kantornya di rumah besar. Bapak pengin anak-anaknya datang. Tapi Mas White enggak bisa dihubungi, adik Mas White juga kabur setelah pulang sekolah. Jadi bapak ngamuk."

Mang Jajang menunggu reaksi anak majikannya tersebut, namun bibir White terkatup rapat. Remaja itu meneruskan langkahnya, mengambil kunci dari tas untuk membuka pintu kamarnya.

Merasa diabaikan, Mang Jajang kembali memanggil White. "Mmm... Mas White ..."

White berpaling, "Ada apa lagi?" tanyanya datar. "Kalau saya pulang sekarang buat apa? Acaranya juga pasti sudah selesai."

Pria berumur hampir setengah abad itu membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. Lebih mudah bicara dengan adik White yang bandelnya minta ampun namun agak lempeng ketimbang White. Anak sulung majikannya tersebut memang jauh lebih sopan dan pendiam, tapi ia lebih dingin. Tak jarang membuatnya salah tingkah untuk berhadapan dengannya.

"Kata Bapak, Mas White disuruh pulang ke rumah besar. Kalau enggak katanya ... katanya ..." Mang Jajang mengamati wajah White sebelum meneruskan.

White memandangnya lelah. Tangannya menahan pintu setengah terbuka. "Katanya apa?"

"Eh katanya, Bapak akan berhenti membiayai sekolah dan kehidupan Mas White kalau enggak mau pulang." Jawabnya dalam satu tarikan nafas.

"Terserah saja. Selamat malam, Mang."

White masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup rapat pintunya. Meninggalkan Mang Jajang melongo menatap daun pintu. Merasa serba salah. Apa yang akan disampaikan pada majikannya nanti? Diketuknya sekali lagi pintu itu lalu berkata, "Mas White, anu... Bapak nyuruh saya ..." namun Mang Jajang tidak meneruskan kalimatnya karena White menyambar dengan suara lantang dari dalam kamarnya.

"MangJajang cepat pulang terus bilang sama Ayah, saya pulang kalau pengin pulang!"    

White & GreyWhere stories live. Discover now