1. Seperti Malaikat

Mulai dari awal
                                    

Joko mengangkat bahu dengan wajah manyun. “Kata ibuku juga begitu…”

“Hei… santai sedikit,” bujuk Leo. Dia merangkul bahu Joko seraya berkata, “Kita harus menikmati masa-masa ini! Kelak kita pasti merindukannya.”

Joko mengangkat bahu. Tak terlalu sependapat dengan ucapan Leo barusan. “Kamu kedengaran seperti orang tua…” gumamnya dan langsung mendapat pukulan dari Leo.

“Itu kenyataan yang nggak bisa kamu tolak,” sungut Leo.

“Sudahlah… Untuk apa kita mendebat ini?” Joko mengangkat tangannya tanda menyerah. Leo mengangguk dan mereka mengganti topik pembicaraan dengan kartun kesayangan mereka.

Tak berapa lama, seorang pria berusia sekitar empat puluhan bersama kacamata tebal menggantung di hidungnya masuk ke kelas. Kegaduhan yang tadi memenuhi kelas sirna seketika.

“Pagi anak-anak?” kata pria itu.

“Pagi, Pak!” sahut siswa di dalam, kompak.

“Perkenalkan, nama Bapak Wagimin. Bapak wali kelas kalian. Yang ikut MOS kemarin pasti kenal dengan saya.”

Beberapa siswa langsung mengiayakan.

Pak Wagimin tergelak. “Baiklah, apa kalian sudah saling mengenal teman sekelas kalian?”

“Belum semua, Pak!” teriak Joko kencang. Akibatnya seluruh siswa menoleh ke arah Joko. Yang ditoleh hanya menyunggingkan senyum lebar.

“Belum ya. Baik, kalau begitu, kita akan saling memperkenalkan diri. Mulai dari kamu, yang di pojok sana.” Pak Wigimin menunjuk seseorang siswi yang ada di pojok kanan.

Siswa-siswi mulai memperkenalkan diri. Leo memperhatikan mereka yang memperkenalkan dirinya sambil lalu. Ada beberapa yang menurut Leo masuk dalam daftar teman yang tidak disukainya karena nada suara terdengar sombong, atau langsung blak-blakan memamerkan kelebihan dan prestasi mereka.

***

Leo pulang ke rumah dengan wajah cerah. Laras yang sedang duduk di ruang tengah memandang heran.

“Sepertinya hari ini berjalan menyenangkan,” teguran Laras menghentikan langkah Leo.

“Ah, Mama.”

“Mau cerita sama Mama?” tanya Laras penuh harap. Semenjak menginjak remaja anak satu-satunya ini jadi jarang bercerita sesuatu lagi padanya.

Leo menggeleng. “Nggak ada yang perlu diceritain. Leo cuma senang karena sudah dapat teman baru, hehe…”

“Mama cuma berharap kamu nggak berteman dengan anak-anak nakal.”

“Iya-iya…” kata Leo lalu masuk ke kamarnya.

***

Hari pertama Leo sudah akrab dengan beberapa teman sekelasnya. Terutama teman sebangkunya, si rambut klimis dan yang di belakangnya, memakai kacamata minus dengan rambut ikal dan berkulit lebih putih dari mereka bernama Andre.

Di hari kedua ini kelas sudah mulai aktif belajar.

Leo mensejajari langkah Andre dan Joko yang terus melintasi koridor menuju ruang seni. Mereka masuk ke dalamnya dan langkah mereka terhenti tepat di dikursi kosong yang ada di bagian depan kelas.

“Hei, ingat nggak siapa cewek berambut lurus di sana?” tanya Joko sambil menyikut lengan Leo yang kebetulan tepat di sampingnya. Leo dan Andre menoleh ke arah cewek yang dimaksud.

Cewek itu memiliki mata yang bulat, hidung yang sedikit mancung, alis yang tebal, bulu mata lentik, dan berkulit putih. Cewek itu sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain. Baru kali ini Leo melihat cewek cantik mau bergaul dengan orang yang bisa dikatakan tidak cantik. Bahkan kulit mereka jauh lebih hitam dari gadis itu, dan terkesan dari orang kelas menengah ke bawah. Saat itu juga Leo menilai bahwa cewek itu tidak hanya cantik diluar tapi juga cantik di dalam. Entah apa yang dibicarakan mereka, karena mereka serempak tertawa.

Memeluk Asa Karya Orina Fazrina (Imah_HyunAe)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang