Fantasi Mati 0.2: Jatuh

142 3 4
                                    

Aku merasa tubuhku jatuh ke bawah. Tubuhku jatuh semakin cepat, bergesekan dengan hawa dingin yang seolah menyembur ke atas. Aku tidak melihat apapun, tidak mendengar apapun. Aku jatuh. Terus jatuh, semakin dalam dan semakin dalam, seolah aku akan terus jatuh seperti ini selamanya.

Lalu hawa dingin tadi berhenti menyembur ke atas dan mengikatku erat-erat. Tubuhku berhenti meluncur ke bawah. Rasanya seperti mengambang tanpa pijakan. Apa aku sudah mencapai dasar? Atau aku hanya tersangkut di tengah-tengah, terkatung-katung dalam ketiadaan?

Atau mungkin… ‘aku’ sudah tidak ada?

Aku mulai mendengar suara-suara. Awalnya hanya terdengar seperti obrolan biasa, keriuhan yang biasa memenuhi keramaian. Suara itu perlahan berubah menjadi isak-tangis, bahkan jeritan-jeritan yang saling tumpang tindih. Bukan hanya jeritan satu orang, tapi dua, tiga, bahkan mungkin belasan hingga puluhan…

Perih. Jeritan-jeritan itu membuatku merasa perih. Tapi bagian mana dari diriku yang merasa perih? Bukan telinga… Bukan mata… Bukan jantung… Bukan apa-apa.

Aku bahkan tak tahu lagi apa aku masih memiliki itu semua. Tapi aku tahu perasaan ini.

Perih dan… ngeri.

Jangan mati!”

“Jangan bunuh kami!”

Dari mana asalnya jeritan-jeritan itu? Apakah itu jeritan mereka yang sama-sama memilih terjun sepertiku? Apakah akhir itu seperti ini, dan semuanya akan abadi seperti ini?

…Apa aku juga akan menjerit penuh pilu seperti itu?

“Ini semua salahmu. Kaulah yang membuat mereka menjerit seperti itu.”

Suara itu bukan jeritan. Hanya kata-kata yang dilontarkan datar, tanpa perasaan, namun kata-kata itu terdengar begitu jelas di atas semua lolongan-lolongan.

Dari kegelapan muncul cahaya, dan dari cahaya aku melihat aku.

Aku melihat rupaku, rambut hitam dan mata yang legam, bibir tertekuk ke bawah diiringi tatapan kelam.

Kau tidak boleh mati begitu saja. Kau harus bertanggung jawab.”

Aku melihat aku berbicara. Aku ingin membantah, siapa mereka? Kenapa aku yang bertanggung jawab? Tapi bibirku ada di depanku, dan tenggorokanku ada di depanku, dan mereka sepenuhnya tunduk pada aku, bukan diriku.

Mereka ada karena kau, dan mereka akan merasakan sakitnya kehampaan karena kau. Kalau kau ingin mengakhiri hidupmu yang menyedihkan itu, kau harus mengakhiri mereka dengan tanganmu sendiri.”

Apa? Apa maksudnya? Aku bahkan tidak bisa mengerti apa yang aku katakan sendiri. Apa-apaan ini?

“Kau bisa memilih untuk kembali memberi mereka hidup, atau kau harus menghancurkan mereka demi keegoisanmu yang ingin langsung melompat ke halaman terakhir tanpa berjuang menghadapi lembar-lembar sebelumnya.

“…Buatlah keputusanmu di hadapan mereka.”

Lalu aku menghilang meninggalkan sejuta pertanyaan, dan cahaya menelan semua gelap dan melonggarkan dingin yang memenjara. Aku bebas, tapi aku merasa sesak. Beku berganti api, aku terbakar.

Sakit! Sakit!

Cahaya ini mencekikku. Cahaya ini membakarku!

Di hadapanku samar-samar bayangan-bayangan itu melintas satu per satu—mereka yang kukira telah meninggalkanku, tarian orang-orang Parama, pendekar, ksatria, dan naga, semuanya melintas bergantian di hadapanku seperti film bisu, tapi merekalah yang tampak tengah menontonku.

Aku menggapai-gapai ke arah mereka dari tengah kobaran cahaya. Siapapun, keluarkan aku!

Fantasi MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang