#3 - Daddy is (Not) Hero

88 11 6
                                    

Ini aku tulis berdasarkan ayahku yang aku kenal, bukan ayah-ayah yang seperti di sosial media. Jadi disini aku akan menulis apa adanya, tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikitpun.

***

Dia ayahku, tapi aku sering menyebutnya dengan sebutan Bapak.

Entah, dari kecil sebenarnya aku diajarkan untuk memanggil beliau dengan sebutan Papa karna aku menyebut ibuku juga Mama, tetapi entah kenapa sulit memanggil beliau dengan sebutan Papa. Karna mungkin memanggil Bapak aku lebih nyaman.

Dia baik, sangat baik.
Suka mengajarkanku pada kebaikan, tetapi terkadang caranya salah.
Suka memberikan kejutan kecil, yang tidak seberapa tapi cukup membuatku senang.
Suka marah-marah padaku ketika tim bola yang didukung kalah, tapi tak apa, aku mengerti rasanya.
Suka memarahiku ketika aku berbuat salah dan mengganggu adikku, pertanda ia sayang padaku.
Suka protes kalau aku minta beli kuota karna boros.
Banyak, banyak sekali yang aku tau dari Bapak.

Aku masih ingat, ketika ia marah padaku, bukannya aku memikirkan apa yang aku harus perbuat untuk kedepannya malah lebih mementingkan egoisku dengan cara marah dengan Bapak juga.

Aku juga masih ingat, ketika ia berlaku kasar padaku. Tapi aku akan melupakannya seiring waktu.

Aku juga masih ingat, 2 tahun lalu aku pernah berkata, "Bapak, aku beliin laptop baru ya". Dan ia menjawab, "Iya, tunggu punya uang dulu ya".
Keluargaku bisa dibilang sederhana, tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
2 tahun lalu aku masih sibuk dengan tugas power pointku, tugas praktekku, mencari materi untuk ujian praktekku.
Setelah 2 tahun, pagi-pagi adikku membangunkanku, dia berkata, "Mba, nih laptop dari Bapak".
Aku bangun, benar-benar bangun. Tidak seperti biasanya, yang bangun harus menunggu beberapa menit untuk benar-benar bangun.
And I'm so happy!.

Bapak memang punya cara sendiri untuk menyampaikan pesan yang ia ingin sampaikan,
Walaupun terkadang menyakitkan hati dengan kata kasarnya atau menyuruhku pergi dari rumah.
Tak apa, aku bisa menerimanya walaupun harus dengan menangis hingga kepalaku sakit.

Aku pernah membencinya, sungguh.
Tapi pantaskah aku membenci orangtuaku sendiri? Tidak.

Lalu bagaimana caraku menghilangkan rasa benci? Dengan cara mengingat kembali semua kebaikannya. Right?.

***

Aku tidak iri dengan Ayah kalian, karna aku bangga dengan Ayahku sendiri.

Best Regards,
Andien Pradina.

Broken Home ≠ Broken DreamWhere stories live. Discover now