"Langit sakit, Ru, udah lama. Cuma dia nggak mau bilang aja sama kamu," ucap Kak Jingga waktu itu.

Aku terisak parah dengan bahu bergetar. Kak Jingga, kakak perempuan Langit, baru saja membeberkan satu fakta yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Langit sakit, kanker otak dan sudah sejak lama diderita.

"Tapi selama ini Langit selalu kelihatan baik-baik aja, Kak," ujarku di tengah isak.

"Langit berusaha kelihatan baik-baik aja. Di depan kami, kamu, di depan semua orang. Dia nggak mau bikin orang-orang di sekitarnya khawatir."

Aku tidak suka fakta ini, hatiku berkeriyut sakit mendengarnya. Jika saja aku mampu, aku ingin memutar ulang waktu, mengembalikan Langit ke hadapanku dan berteriak di hadapannya, bahwa dia tidak perlu berpura-pura baik-baik saja.

"Ada sesuatu yang Langit simpan buat kamu. Tunggu sebentar."

Kak Jingga menghilang sebentar ke dalam rumah, lalu kembali bersama kotak warna biru berukuran sedang.

"Langit bilang, kamu cuma boleh buka kotak ini saat kamu udah siap dan tolong dibuka di tempat biasa kalian menghabiskan waktu."

Dan di sini lah aku sekarang, di atap gedung sebuah hotel yang berhenti dibangun. Ini lah tempatku dan Langit biasa menatap langit. Menikmati senja, mencari rasi bintang, dan meramal cuaca dengan kemampuan terbatas. Ketinggian adalah kesukaan kami.

Aku membuka kotak dalam pelukan dengan perlahan. Aku membutuhkan waktu lebih dari enam bulan untuk membukanya. Percayalah, aku butuh waktu lebih dari itu sebenarnya, tetapi rasa penasaran menguasaiku. Kalau saja ada Langit di sampingku, dia pasti akan meledekku habis-habisan.

"Nggak konsisten lo!" Mungkin itu yang akan diucapkan Langit padaku sambil tertawa renyah. Ah, aku rindu tawanya.

"Langit... gue kangen lo...," lirihku di tengah desau angin yang menerbangkan setiap helai rambutku yang tergerai.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. Dengan sangat hati-hati, aku mulai membuka kotak peninggalan Langit.

Yang pertama kali aku lihat adalah sebuah amplop warna biru. Untuk Kanaya Alkabiru, tulisnya di sana.

Dengan jantung berdebar, aku membuka surat itu dan aku nyaris menyembur tangis saat melihat tulisan Langit. Setelah enam bulan berlalu, akhirnya aku bisa kembali melihat tulisannya yang rapi, membuatku merasa Langit tidak benar-benar pergi.

Aku mulai membaca surat itu setelah mengembuskan napas panjang dan berusaha menguatkan hati untuk apa pun yang ada dalam surat itu. Dan jantungku kehilangan detak di setiap detik kata-kata Langit berhasil kurapal.

"Dear, Biru....

Saat lo baca surat ini, berarti gue udah pergi dan sekarang lo pasti lagi kangen gue hehehe...."

Aku menekap mulut cepat-cepat. Air mataku menganak sungai. Langit benar, aku sudah merindukannya sejak hari pertama bayangannya menghilang.

"Lo sehat, kan, Ru? Gimana keadaan kelas tanpa gue? Sepi nggak??

"Sepi, Lang, sepi banget...," jawabku serak.

"Pasti sepi, ya hahaha. Udah ah, gue mau nyampein sesuatu, nih. Gue cuma mau jujur. Ru, lo masih ingat pertanyaan lo saat terakhir kali kita ngobrol, tentang seseorang yang gue suka?"

Aku mengangguk. Itu adalah pertanyaanku yang terakhir yang tidak sempat Langit jawab.

"Di dalam kotak ini ada barang lo yang sengaja gue umpetin. Silakan lo liat barang itu dan lo bakal tau siapa sosok yang gue sayang selama ini...."

Menggapai LangitWhere stories live. Discover now