Aku tidak tahu sejak kapan, tanganku sudah melingkari leher Dias dan wajahku terbenam di lehernya. Napasku sudah mulai memburu karena geli dan... entahlah, aku tidak tahu perasaan apa yang sedang melandaku sekarang.

“Ana! Hentikan itu!” Suara Dias terdengar serak dan tidak tenang. Jujur aku tidak mengerti apa yang di katakannya. “Berhentilah bernapas di leherku. Jika kau terus melakukannya, aku bisa benar-benar hilang kendali.” Dan detik itu juga aku buru-buru menjauhkan wajahku dari lehernya. Bagaimanapun juga aku ini seorang wanita dewasa. Walaupun bisa di bilang, aku tidak punya pengalaman apapun degan pria, tapi aku tetap mengetahui hal-hal seperti ‘hilang kendali’ yang baru saja di katakan Dias.

“Ma~maaf.” Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain permintaan maaf.

“Jangan meminta maaf Ana. Jika bukan karena harus ke rumah sakit, aku sama sekali tidak keberatan hilang kendali dan melalukan ‘aktivitas’ itu pagi hari.” Lalu Dias kembali menciumku. Kali ini bukan ciuman seperti tadi, melainkan hanya menyapukan didibirnya di bibirku. “Lebih baikkaumandisekrang, sebelum aku meerjangmu kembali.” Dan tanpa di suruh dua kali,aku langsung bergegas masuk ke kamar mandi.

Di kamar mandi, aku langsung membasuh wajahku yang terasa panas.

***

Aku sedang menyiapkan pakaian Dias ketika terdengar percik air yang di sebabkan Dias dari dalam kamar mandi. Ku letakkan pakaian itu di atas ranjang lalu bergegas keluar untuk menyiapkan sarapan.

Hari ini adalah hari pertama kami di rumah baru ini. Hari ini juga adalah hari pertama aku menyiapkan segala kebutuhan Dias seorang diri. Biasanya saat di rumah papi dan mami, aku hanya membatu menata meja makan, karena mami yang memasak. Tapi hari ini aku yang memasak semua makan untuk suamiku itu.

“Hmm... sepertinya wanginya enak.” Aku terlonjak kaget, mendapati Dias yang sudah berdiri di belakangku.

“Kau mengejutkanku.” Protesku pada Dias dan di jawab dengan kekehan olehnya.

“Sepertinya enak.” Baru saja Dias akan menyuapkan nasi goreng itu, sebelum tiba-tiba tangannya berhenti di udara. “Ini tidak ada cuminyakan?”

Aku menggeleng sebagai jawaban. “Tenang saja, mami sudah memberitahuku kau alergi cumi.” Memang, selama di rumah mami, mami selalu memberitahuku tentang apa yang di sukai dan tidak di sukai oleh putranya itu.

“Enak! Aku tidak tahu kau pandai memasak.” Senang rasanya melihat Dias menyantap masakanku dengan lahap. “Kau tidak makan?” Tanya Dias yang baru menyadari tidak ada makanan apapun di hadapanku.

“Aku tidak terbiasa sarapan.”Kataku menjelaskan.

“Tapi di rumah mami kau biasanya ikut sarapan bersama kami?”

“Aku bilang, aku ‘tidak terbiasa’ sarapan, bukan ‘tidak bisa’ sarapan Dias.” Kataku sambil sedikit menekan kata ‘tidak terbiasa’ dan ‘tidak bisa’.

Belahan Jiwa - Say LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang