Epilog [Bonus Part]

7.3K 596 99
                                    

Sepertinya hidup Brayn memang di takdir kan sendiri. Setiap perempuan yang ia suka ataupun menyukainya pergi silih berganti. Brayn pernah bertanya pada Syanes jika sampai mati ia tidak akan mendapatkan jodoh.

Kepergian Monica menyadarkan Brayn akan satu hal. Jangan pernah memberi harapan sekecil apapun pada kaum Ibunya. Banyak pelajaran yang ia petik dari perempuan saiko itu. Meski tidak semuanya bersifat positif. Namun berhasil menyadarkan Brayn untuk memberi jarak pada perempuan. Ia tidak akan berbicara lagi pada perempuan, mungkin. Atau hanya sekedar berbasa-basi mengajak kenalan. Meninggalkan trauma yang mendalam, padahal tidak semua perempuan seperti Monica.

Brayn membawa dua bucket bunga. Mawar merah dan putih. Berjalan memasuki pemakaman yang sepi. Ia tidak menghadiri pemakaman Monica. Tubuhnya sempat drop lagi dan mengharuskan Brayn untuk bedres di tempat tidur.

Sekarang, setelah satu bulan kepergian perempuan itu. Brayn baru bisa mengunjunginya. Peristirahatan terakhir. Brayn berhenti di dua makam yang kini berhadapan dengannya. Ia melepas kaca mata dan mendengus pelan.

"Kayaknya lo berdua nyiksa gue, ya," Brayn menunjuk makam Monica karena tepat bersebelahan dengan milik Qymora. seolah ia sedang berbicara dengan kedua wanita itu.

Brayn menghembuskan nafasnya dan meletakkan mawar merah di atas gundukan bernama Qymora, dan putih untuk Monica. Brayn tahu bunga apa kesukaan kedua perempuan itu.

Duduk di antara keduanya. Menatap bergantian. "Kayaknya gue akan jomblo selamanya. Gue harap lo berdua berbaikan di sana seperti sebelumnya. Lo berdua itu memiliki porsi penting dalam hidup gue. Punya arti yang beda namun akan selalu gue ingat."

Brayn menepuk gundukan tanah Monica. "Maaf baru bisa kunjungi lo. Butuh waktu Mon, buat terima bahwa lo udah gak ada. Gue emang benci, benci banget dengan sifat dan perubahan drastis lo. Gue marah, tapi gue gak beneran serius marah sama lo. Gak tau kenapa gue gak bisa benci lo. Setelah gue tahu hidup lo saat lo udah di sini. Mon, saat gue tahu bagaimana perjuangan lo. Gue mau gantiin posisi lo, atau nggak ngerangkul lo. Tapi yang buat gue marah itu! Sifat saiko lo itu bikin gue darah tinggi, tidak nafsu makan, serangan jantung, diare berlebih. Intinya semua penyakit lah,"

Brayn menghembuskan nafasnya. "Nyesal juga percuma kan? Udah banyak orang yang rela pergi demi kehidupan gue." Brayn menggaruk ujung alisnya. "Jangan marah ya, gue kesini mau kasih tau lo berdua. Kalau gue-"

Cukup lama ia berada di sana, di bawah pohon rindang seolah bercerita. Mengadu apa yang menjadi masalahnya saat ini.

Sadar bahwa langit akan semakin terik, Brayn berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, ia menatap dua makan itu dari mobilnya. Seolah Qymora dan Monica melambaikan tangan menghantar kepergiannya.

Hari ini adalah hari wisuda dirinya mendapat gelar dokter Spesialis Bedah. Keluarga dan sahabatnya hadir dalam hari penting itu.

Menerima ratusan bunga yang tidak bisa lagi Brayn genggam. Menumpuk di mobilnya. Hanya satu wanita yang ia tunggu dari tadi. Brayn sudah menghubunginya berulang kali namun tidak ada jawaban.

Melayani beberapa teman yang ingin berfoto dengannya. Brayn tersenyum begitu melihat Kansa datang membawa sebuah kado yang di serahkan untuknya.

"Selamat ya, Kak," Brayn memeluk Kansa singkat. Merasakan tubuh Kansa menegang.

"Makasih adik kecilku," Seketika senyuman Kansa menghilang. Saat Brayn mengacak rambutnya.

Adik?

Apa Brayn hanya menganggapnya sebagai adik selama ini? Kenapa Kansa merasa sakit mendengarnya. Lalu apa yang Brayn katakan tahun lalu? Apa yang Brayn janjikan jika ia kuliah di kota?

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now