[Sepuluh] Menjadi Pertanyaan.

4.2K 601 173
                                    

Spam komentar baru aku lanjutin. Tantang nih, tembus berapa kira-kira?? Dibawah 100 cerita unpublish Ha Ha Ha!

--

Genggaman itu terlepas. Bola mata yang terpejam di tengah hamparan gurun pasir. Rambutnya berantakan di tiup angin. Bibirnya membisu, seolah terkunci. Begitu menyakitkan saat angin membawanya pergi semakin menjauh.

Satu-satunya air di sana hanya air matanya. Jatuh tanpa ada ekspresi. Suara teriakan dan tawa menggelegar menjadi satu yang menyakitkan. Dadanya sesak, seolah ia adalah boneka yang sedang di permainkan. Di tusuk oleh belasan tombak yang menancap di tubuhnya.

Seperti pertengkaran alam yang tidak akan bisa di hentikan. Ia mencari orang itu, namun hanya bola matanya saja yang bergerak. Bak patung yang terdiam dengan tangan terulur ke depan. Sebuah tangan yang menggenggam dan yang membawanya ke tempat ini. Meninggalkannya begitu saja.

Tubuhnya membeku. Berusaha mencoba meraih apa yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Semakin ia mrncoba, semakin tercekik dan membelenggu tubuhnya.

"Oksigennya naikin!"

"Tensi darah 50/40 MmHg,"

"Nadi 52 Dok,"

Evos meraih stetoskop di sebelahnya. "Bray, Please," Evos naik ke atas ranjang. Ia menyatukan kedua tangannya lalu ditekan ke dada Brayn.

"BSS 26,"

"Masuk D40," Evos menatap Brayn, bergantian menatap layar monitor di sebelahnya. Rekam jantung yang tidak menentu. Kadang naik dan turun secara acak.

Ada sekitar empat orang perawat yang melakukan tugasnya masing-masing. Tiga orang dokter termasuk Evos yang terus memantau keadaan Brayn. Alat di monitor masih menunjukkan jika semuanya masih berfungsi namun begitu lemah semakin lemah jika Evos berhenti melakukan RJP.

Kepanikan bukan hanya terjadi pada Evos. Di depan ruangan ICU, Syanes sudah tidak sadarkan diri begitu mendengar kabar jika Putra sulungnya di ambang kematian.

Bagaimana seorang ibu tidak kaget. Jika tadi pagi, Brayn masih sempat bercanda dan bertingkah seperti biasa. Lalu jam dua malam ia mendapatkan kabar jika Brayn dilarikan ke rumah sakit, dengan keadaan kritis.

"Ma," Panggil Xalio mengelus pipi Syanes. Beberapa rekan kerja Syanes datang untuk mendampingi ibu dua orang anak itu. "Akh," Xalio menunduk merasakan sesak di dadanya. Ia memeluk Syanes dengan tubuh bergetar hebat. Ia juga tidak bisa menjadi kuat meski untuk berpura-pura.

Xalio yang menemukan Brayn pertama kali. Bermula saat ia tidak bisa tidur. Entah kenapa ia memikirkan Brayn. Mencoba menghubungi Kakaknya yang sama sekali tidak mendapat jawaban. Kerena Brayn tidak mungkin mengabaikan panggilan masuk darinya. Meskipun Brayn tidak mau mengangkatnya, Brayn pasti langsung mematikannya.

Kejanggalan terjadi. Gejolak aneh yang menuntun Xalio mendatangi apartemen di mana Brayn tinggal sekarang.

Dan semuanya terjawab. Melihat Brayn tergeletak tidak sadarkan diri di atas ranjang. Xalio pikir jika Brayn sedang tidur, cukup lama dengan semua usaha membangunkan Kakaknya yang memang jika tertidur seperti putri tidur. Mengetahui tidak ada pergerakan ataupun respon, Xalio langsung menghubungi ambulance.

Di sini Brayn sekarang. Berada di antara rekan kerja yang mana seharusnya Brayn bukan menjadi pasien nya.

"Xal? Xal, Bantuin Mamanya sadar dulu, yuk. Kuat Nak, Kalau kamu kuat nanti Mama ikut kuat juga," Xalio mengusap wajahnya. Ia berdiri, berjalan kesana-kesini dengan wajah mendongak ke atas. Para rekan kerja Syanes yang sesama dokter membantu menyadarkannya. Mereka memberi semangat dan terus berada di sekeliling Syanes.

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now