part 1

225 27 21
                                    

Small_Hours series
Drizzling Hearts part 1

Fate Is Such A Mysterious Word

"Angry people are not always wise..."
"Orang-orang yang marah sering kali tidak bijak..."
(Pride and Prejudice, Jane Austen)

Tentu saja dia sering merasa marah.

Sebagai remaja cowok berusia tiga belas tahun, perubahan hormonal, perubahan lingkungan dari SD ke SMP, tekanan dari teman-teman sebaya, tekanan yang mulai lebih berat dari rumah, seolah dijatuhkan di pundaknya sekaligus.

Ryo selalu merasa kesal. Segala sesuatu yang terjadi di sekeliling dia hampir semuanya berjalan dengan salah. Dia tidak suka wajahnya yang mulai dipenuhi jerawat, dia tidak suka memasuki sekolah dimana dahulu abangnya menjadi siswa populer, dia tidak suka teman-teman yang seperti sulit memahami dirinya, dia tidak suka sikap orangtuanya yang menjadi lebih cerewet sejak dia memasuki jenjang sekolah baru.

Padahal, seperti juga abangnya, Ryo mendapat nilai bagus sehingga bisa masuk sekolah favorit di kota kecil ini. Seharusnya itu bisa memberi dia semacam pengakuan bahwa Ryo juga sama baiknya.

Tapi ternyata, Ryo tetap ada di bawah bayang-bayang Abang. Dengan segera  dia terpilih menjadi pengurus OSIS karena kakak-kakak kelasnya mengenalnya sebagai adik Rully yang keren dan populer, yang lulus di tahun yang sama Ryo memasuki sekolah ini.

Tidak hanya itu. Orang-orang kemudian mulai membanding-bandingkan dia dengan Bang Rully.

"Gantengan juga abangnya, ya...."
"Kalo abangnya mah pinter loh, ganteng lagi."
"Aneh ya, kok bisa dia jutek gitu? Padahal abangnya baik banget. Ramah."
De el el. De es be.

Seperti remaja kebanyakan, dia tidak menyukai hidupnya saat ini.

Tapi masa-masa ini akan berlalu, nanti. Sikapnya masa kini tidak akan menjadi jati dirinya yang hakiki. Dia masih bocah. Betapa banyak sinaps di otaknya yang belum tersambung.

Tetap saja ada beberapa gangguan terjadi. Misalnya, dia tidak terlalu menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Sehingga nilainya jeblok.

Dan kemudian dia mendengar kabar tentang dirinya yang konon tidak akan naik kelas. Sungguh mengherankan. Bagaimana bisa dia tidak naik kelas? Nilai di mata pelajaran lain semuanya baik. Rata-rata nilai dia juga bagus, bahkan dengan dua mata pelajaran yang nilainya jeblok tadi.

Ryo kembali merasa marah. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mematahkan rumor tentang dirinya kecuali dengan naik kelas? Maka dia membiarkan saja rumor tersebut.

Di kelas dua SMP, keadaan masih belum banyak berubah. Kecuali satu.

Tiana.

Entahlah orang akan menyebut ini sebagai apa. Yang jelas, bagi Ryo, Tiana adalah anak perempuan yang paling dia sukai di sepanjang empat belas tahun usianya.

Tiana dan Ryo sesama pengurus OSIS. Anaknya pandai, pendiam, cara  bicaranya halus sekali. Tubuhnya tinggi langsing dengan rambut sedikit ikal dipotong sebahu, sepertinya tidak pernah menyadari bahwa dia tampak manis sekali bila tersenyum.

Ryo sering memandanginya diam-diam saat mereka rapat OSIS. Dan setiap kali, rasa sukanya makin bertambah.

"Tiana, mau duduk?" tawar Ryo, sambil berdiri dari tembok pendek yang menjadi pembatas ruang aula terbuka di sekolah, yang tengah dia duduki sambil menonton pertandingan pingpong antar kelas, di suatu hari pada pekan tenang, ketika mereka kelas dua. Berharap cewe itu akan menerima tawarannya dan mereka bisa bercakap-cakap berdua.

Tiana menggeleng halus, berkata bahwa dia sedang mencari temannya dan bukan ingin menonton. Walau sedikit kecewa, tapi Ryo senang dengan kesempatan mengobrol sebentar seperti barusan.

Drizzling HeartsWhere stories live. Discover now