"Siapa bilang lo bakal pakai yang ada nama lo? Lo pakai yang nama gue lah," kata Anata menyodorkan cangkir dengan tulisan Anata ke tanganku.

"Kok gitu?"

"Kan gue yang lebih sering ngeteh?" balas Anata.

Aku mencibir.

"Canda. Lo boleh pake yang mana aja," kata Anata, mengambil balik cangkir di tanganku lalu memasukkan kembali benda berbahan keramik itu ke dalam kotak, dan beranjak ke dapur.

Saat ia mengulurkan tangan ke rak di atas wastafel untuk meletakkan cangkir-cangkir baru tersebut, aku menghampirinya, menyandarkan sebagian punggungku ke pilar dapur.

"Nat.."

"Hm?"

"Gue boleh nanya nggak?"

Anata tak mengalihkan pandangannya dari deret cangkir di dapurnya – yang memang berjumlah cukup banyak. "Hahah, apaan sih, ya nanya aja kali. Kenapa pakai ijin segala."

"Samuel Sulistyan siapa?"

Gerak tangan Anata tertahan. Aku menangkap gelagatnya.

Ia menjawab enteng. "Sultan? Temen kuliah gue."

"Temen kuliah aja?"

"Iya."

"Kalau Aska Panduputra?"

Masih dengan tenang, Anata menjawab, "Oh, Aska sih supervisor bank cabang sebelah."

Aku nggak memperpanjang pertanyaan. Gadis itu melipat kotak bekas tempat cangkir, lalu menyimpannya di laci bawah wastafel bersama dengan tumpukan kardus dan lipatan kantung plastik.

"Nat.."

"Apa?" tanya Anata, kali ini ia membalikkan badannnya dan menatapku lurus.

"Ikut gue yuk?" ajakku.

"Ke mana?"

"Ke rumah gue. Lo belom pernah ketemu nyokap sama bokap gue kan? Mumpung mereka lagi di rumah. Yuk," usulku. Sebagian isi kepalaku berharap Anata akan bereaksi sesuai keinginanku.

Namun gadis itu mengangkat bahu, "That's a lot to take in."

"Cuma kenalan aja, nothing more," lanjutku.

Anata bersikukuh. "That's too much for me. For us."

Sejujurnya, aku sepakat. Dengan status kami, nggak ada pentingnya Anata harus kenal orang tuaku. Tapi entahlah, aku seperti mendengar hasutan di kepalaku bahwa aku sebaiknya membawa Anata pulang dan bertemu keluargaku.

Anata menatapku lurus, "Did you just check my phone? My texts?"

Aku nggak bisa langsung menjawab. Tapi aku yakin Anata bertanya bukan karena dia nggak tahu, dia hanya ingin mendengar jawabanku.

"You did. Because no one calls Sultan as Samuel Sulistyan but me."

Aku masih nggak bersuara. Aku nggak menangkap emosi di sorot mata Anata, pun kepanikan. Gadis itu terlihat tenang dan tanpa ada tanda-tanda akan marah.

"Sorry."

Entah kenapa aku justru mengucap maaf. Tatapan Anata melunak, ia menarik napas pelan-pelan.

"I just wanna know who he is," kataku kemudian.

Anata menimpali pelan, "A good friend of mine."

Aku manggut-manggut.

"Mau kopi?" tawar Anata.

Aku menatapnya bingung. Semalam dia bilang nggak ada kopi, tapi sekarang menawari kopi. Gadis itu nyengir, "Semalem lo perlu tidur. Jadi emang sengaja nggak gue bolehin minum. Sekarang lo mau kopi nggak?"

"Mau."

"Tapi krimer gue abis."

"Nggak usah, gue lagi pengin minum yang pait sekalian," tuturku.

Anata manggut-manggut, "Oke."

"Nat,"

"Ya?" gadis itu menoleh.

"I love you," aku nyengir, lalu beranjak ke ruang tengah tanpa menunggu reaksinya dan menjatuhkan diri ke sofa.

Anata menyalakan kompor, berkata lirih, "Gue juga sayang lo, Gi. Lo kan tau."

"Yeah, I know," balasku dengan senyum.

Hubungan macam apa yang terjalin antara aku dan Anata. Aku juga nggak paham. Aku yakin kami sama-sama punya perasaan yang sama, tapi kami juga sama-sama nggak menginginkan pengakuan dari kedua belah pihak bahwa kami bersama sebagai pasangan. Membingungkan? Iya, memang. Tapi aku nggak menemukan jalan tengah dan Anata pun berpikir demikian.

Sejujurnya saja, aku bukan tipe laki-laki yang seratus persen mencurahkan semua perasaannya pada satu perempuan. Itu sebabnya aku punya banyak teman perempuan, banyak mantan pacar, banyak perempuan yang bersedia menemaniku meski hanya sekadar bicara lewat telepon atau duduk bersebelahan di lounge bar.

Anata meletakkan kopiku di meja. Ia menggunakan cangkir baru, yang bertuliskan 'Anata♡'.

Anata duduk di sampingku. Ia tersenyum. Aku balas tersenyum.

"Minumnya sambil liat gue, biar agak manisan," katanya.

Aku tertawa. "Yang ada gue diabetes kalau sambil liat lo."

Ia menjatuhkan kepalanya di pangkuanku, padahal aku sedang memegang cangkir berisi kopi panas. Kemudian Anata memainkan kukunya yang terpoles kuteks warna jingga – sudah agak memudar. Aku meletakkan cangkir, menyibak poninya hingga dahinya yang lebar terpampang jelas.

Anata mendongak hendak memprotes. Ia benci dahi lebarnya.

Aku menyeletuk iseng, "Mau gue pasangin kuteks nggak? Jelek banget tuh kuku lo."

"Lo bisa?"

"Bisa. Biasanya gue bantuin Dyandra. Tapi ya nggak rapi rapi amat," jawabku.

Anata bersorak gembira. Ia berdiri untuk mengambil sebotol kuteks warna merah dan menyerahkannya padaku. Lalu ia bersila di sampingku, menyodorkan tangan kirinya. Ia seperti anak anjing kecil yang sedang duduk tenang menunggu diberi camilan sore.

"Nat,"

"Hari ini lo manggilin gue udah berapa kali, Gi. Kalo lo manggil lagi, lo dapet payung gratis," gerutu Anata.

Aku tertawa kecil.

"Nat,"

"Gigi!!! Udah, deh! Apaan sih!" ia terdengar sebal.

Aku cekikikan, lalu melingkarkan lenganku ke pundaknya, lalu bertanya dengan bisikan pelan. "Gue cuma mau nanya, lo mainnya aman nggak?"

Anata melotot. "Ya iyalah!"


SHEETS AND STREETSOn viuen les histories. Descobreix ara