AYAH

66 5 4
                                    

Namaku Ayaz. Aku seorang lelaki, dan berusia 17 tahun. Mengapa aku menyebutkan bahwa aku seorang laki-laki?  Nanti akan aku ceritakan.

Aku adalah anak pertama dan satu-satunya dari seorang penceramah kondang di kotaku. Ya, ibuku seorang ustazah. Dan konsekuensi logis bagi anak seorang penceramah adalah dianggap alim dan suci. Itu yang aku alami. Setiap kali orang tahu bahwa aku adalah anak penceramah, maka mereka akan menyuruhku untuk berceramah pula. Padahal, tidak semua kan buah yang jatuh pasti berada di bawah pohonnya. Aku pernah melihat buah rambutan, namun dia berada dibawah pohon mahoni.

Lupakan tentang buah. Karena yang akan aku ceritakan bukan tentang buah. Namun tentang aku dan satu kata yang selalu saja menyita ingatanku setiap pagi. Ya, lelaki.

Seperti pagi yang selalu dingin, benakku pun selalu bertanya tentang satu kata itu. Satu kata yang merupakan pemberian Tuhan yang harus diterima tanpa tanya mengapa. Sebab lelaki bukan pilihan, bukan pula hal yang bisa didapat dengan permintaan. Lelaki itu Tuhan yang memberi, dan yang ditetapkan olehnya sebagai lelaki harus menjalani tanpa tanya dan unek di hati.

Tentang lelaki, Aku adalah lelaki satu-satunya di ruamahku, setelah kakek menutup usianya di 12 tahun usiaku. Sejak saat itulah aku telah terbiasa menjadi imam, walau belum sepenuhnya jadi kepala. Dan tentang kepala, timbul banyak pertanyaan tentang siapa kepala sebenernya dalam rumah tangga ini. Sebab Ibu tak pernah memberiku tahu tentang siapa sosok lelaki yang membuat aku menjadi lelaki. Tidak ada sosok lelaki yang aku sebut Ayah sejak aku dilahirkan. Aku hanya mengenal kakek yang selama lima tahun aku menyebutnya Ayah.

Entahlah. Sejak kecil Aku tidak suka dengan situasi ini. Situasi yang mengharuskan aku bertanya tanpa jawaban. Situasi yang mengharuskan aku mencari jawabannya sendiri. Siapa lelaki yang namanya bahkan tak pernah di sebut ibu dihadapanku. Karena tidak mungkin aku ada begitu saja, tanpa ada lelaki yang mengadakanku. Maka adalah sebuah kewajaran ketika aku ingin tahu tentang itu semua.

Namun aku begitu paham pada Ibuku. Dia lebih tertutup dariku. Maka sekeras apapun aku berusaha mencari jawaban dari bibirnya tentang siapa ayahku, itu sama halnya menanti pelangi di langit fajar, mungkin tapi mustahil. Maka kutanyakan saja tanyaku pada sinar yang membelah langit fajar, berharap jawab datang dan menjelaskan.

Dan benar, siang itu. Dua hari sebelum kakek menutup usianya, dia menjelma sinar yang membelah langit fajar. Dia membentuk pelangi yang nyata di sana. Dan aku dalam diam mencuri warna itu.

"Ayaz sudah besar, nduk. Sudah waktunya dia tahu semuanya."

Begitu kata yang diucap kakek.  Sementara Ibu hanya terdiam, matanya merah memerahkan kata tidak, Ayaz tak perlu tahu. Begitu yang aku baca.

"Ayaz lambat laun akan sadar juga nduk. Dia sudah SMP sekarang. Apa kamu akan tetap berbohong? Bukannya tiap kamu ceramah kamu bilang gak boleh berbohong.?" ujar kakek masih dengan pelangi yang sama.

"Tapi pah, Ayaz akan lebih baik jika tidak tahu. Dia lebih baik tahu kalau ayahnya sudah meninggal, dari pada tahu kalau...." kata-kata Ibu terhenti dan mencipta air mata di pipi.

Lebih baik aku tahu kalau ayahku sudah meninggal, inilah pelangi di langit fajar itu. Ibuku secara tidak langsung mengatakan jika ayahku masih ada. Dia masih hidup. Tapi siapa?

"Ceritakan saja, nduk. Kau sudah lebih dari cukup menanggung beban ini sendirian. Dia anak papa, seharusnya papa yang menanggung ini semua. Bukan kamu."

Siang itu aku menemukan dua fakta yang aku cari tahu. Fakta bahwa aku masih punya Ayah, dan juga fakta bahwa Ibuku adalah menantu, bukan anak kandung kakek. Fakta selanjutnya, siapa sebenarnya ayahku? Dimana beradanya?

Sayangnya, langit fajar itu singkat. Hingga pelangi yang terbentuk pun menghilang dengan cepat. Ditambah mendung datang menghadiahi hujan siang itu. Kakek menutup rapat usianya. Bersama semua fakta yang aku cari.

Dan ketika itu, aku menyukupi rasa keingin tahuanku. Aku tak lagi mencari siapa lelaki yang bernama Ayah bagiku. Aku jalani masa putih biruku hanya dengan ibu, tanpa tanya lagi. Biar waktu saja yang menghadiahiku tau.

***

LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang