Bab 4

10 0 0
                                    

Oh sungguh malang tumbuhan muda itu! Ia hanya ingin tumbuh menjulang tinggi dan berharap banyak burung bersarang di rantingnya. Binatang hingga manusia sekali pun menggemari buahnya. Itulah yang ia harapkan. Namun, sekarang tumbuhan muda itu sudah dirungkupi oleh semut merah. Keadaannya diperparah lagi dengan semut merah itu membangun castle -nya tepat di bawah akar tumbuhan muda itu. Kini batangnya sudah berlubang - lubang dan kulitnya sudah terkupas. Batinku bertanya, akankah ia bertahan?

***

Perlahan aku membuka mataku yang terasa perih. Kepalaku terasa seperti bergendang - gendang. Aku mendengar suara perbincangan yang pelan. Beberapa dari suara itu sangat akrab di telingaku. Kubuka mataku dan melihat langit - langit putih yang penuh dengan lampu. Dinding berwarna putih. Lalu di depanku ada seorang wanita yang sedang tidur. Ia ditemani dua anak gadis yang sedang berbicara pelan. Aku ada dimana? Bisikku.

"Syukurlah kau sudah sadar. Bu Nina baru saja pergi, katanya ia harus mengurus anaknya dirumah," jelas Novi. Ia rekan kerjaku di sekolah.

"Aku ada dimana?" tanyaku.

"Tadi siang kau pingsan di depanku. Kau sangat terlihat pucat dan badanmu terasa sangat panas. Kami mencoba menyadarkanmu namun tak ada hasil. Aku, bu Nina juga dengan guru lainnya melarikanmu ke sini. Kami sangat ketakutan. Dokter bilang kau terkena gejala penyakit tifus ringan. Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Aku hanya merasa sedikit pusing. Tetapi semua sudah terasa ringan. Kau tidak perlu merasa khawatir. Mungkin dalam beberapa hari aku akan sembuh," ucapku dengan senyuman yang kuusahakan karena semua badanku terasa berat. Aku meragukan jika aku sanggup untuk berjalan saat ini.

"Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Kau makan masakanmu sendiri, kan?" ia bertanya.

"Tidak, sejak aku kerja di sekolah. Aku tidak punya waktu untuk memasak. Akhir - akhir ini, aku tidur larut malam, hingga aku bangun telat saat pagi dan aku tidak punya waktu untuk memasak,"  jawabku.

Terkadang, aku merasa bodoh dan hina jika aku mengingat semua masa di sekolah itu. Menjadi guru ternyata tidak semudah yang pernah aku bayangkan. Berhadapan langsung dengan watak siswa yang berbeda hingga menyelesaikan semua tuntutan kurikulum, yang terberat dan yang menguras tenaga adalah menyusun RPP. Kecintaanku akan belajar bahasa Inggris juga masih  kulakukan sepulang sekolah di sore hari. Aku hanya menyukainya dan menikmatinya.

"Lain kali kau seharusnya mengatur waktumu. Jangan biarkan waktu yang mengaturmu. Kau juga seharusnya lebih sering memakan buah yang segar. Supaya nutrisimu terpenuhi. Ingat, kita bekerja di sekolah menggunakan otak bukan otot. Kesehatan itu jauh lebih penting. Apalagi kau tahu bulan depan adalah masa Ujian. Kita butuh energi ekstra di sana." Novi menyarankanku dengan lembut.

Perkataannya itu benar - benar mengejutkanku. Seingatku, aku hampir tidak pernah makan buah - buahan sejak acara wisudaku. Aku terlalu berhemat. Dulu, semasa kuliahku, aku masih sanggup membeli buah segar dari supermarket. Namun sekarang menjadi seorang guru membuatku seperti ini. Aku bahkan tidak mampu membeli buah segar. Mengingat hal itu, air mataku memaksa untuk keluar namun aku menahannya. Sungguh lebih memalukan bagiku untuk mengakui hal ini.

Terjadi suasana hening yang panjang. Aku sudah larut dalam pikiranku yang kosong. Entah apa yang kupikirkan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Novi. Ia berada di sampingku berkutat dengan hape-nya. Ia sungguh baik. Apa yang harus kuperbuat baginya? Apakah ucapan terima kasih sudah cukup untuk membalas semuanya ini? Argh, yang benar saja! Itu tidak akan.....

"Siska, sebenarnya aku ingin pulang untuk mandi dulu. Setelah kejadian tadi siang, aku belum pulang ke rumah seharian ini. Aku sedikit gerah saat ini dan ingin rasanya mengganti pakaianku," katanya. Matanya memohon.

"Astaga, kau belum berganti pakaian? Maafkan aku sudah sangat merepotkanmu. Seharusnya kau pergi  tanpa harus menungguku."

"Tidak, maksudku aku akan kembali lagi sesudah aku mengganti pakaianku."

"Terima kasih, tapi aku pikir kau tidak usah repot - repot mengurusku. Aku akan menelepon teman sekamarku, Misca. Ia pasti akan datang menemaniku. Lagi pula kau juga bisa datang besok bila ingin menjengukku."

"Apa kau yakin, temanmu akan datang?" ia bertanya.

"Iya, aku sangat mengenal teman sekamarku, Misca. Ia sangat baik dan perhatian padaku. Novi, kau sudah lelah seharian menemaniku. Kurasa kau lebih baik pulang saja dan beristirahat."

"Baiklah, tapi jika kau butuh apa - apa hubungi saja nomorku, okay ?" ia tersenyum.

"Oh itu pasti!" jawabku.

***

Novi pergi. Aku di sini dengan sangat lemah. Namun, aku tahu aku harus kuat. Kuat setidaknya untuk berjalan ke kamar mandi. Tidak ada orang sehat di ruangan ini. Semuanya adalah pasien. Kedua gadis yang tadi menemani wanita di depanku sudah pergi. Mungkin mereka sedang makan malam di luar.

Aku tidak percaya aku tidak punya kekuatan setidaknya untuk buang air kecil ke kamar mandi. Aku berusaha mengangkat badanku untuk duduk, namun terasa berat. Semuanya sangat lemah. Di pikiranku aku tidak percaya aku selemah ini. Aku tidak ingin bergantung pada siapapun. Aku pasti bisa! Aku mencobanya lagi dengan membalikkan badanku dan menurunkan kakiku dari ranjang. Dengan kekuatan yang aku punya, aku memaksa untuk duduk. Aku berhasil! Kepalaku terasa berdenting. Lalu aku berdiri dan kakiku terasa bergetar. Tetapi aku tetap berjalan. Aku membawa tiang infusku yang menjadi tongkatku untuk berjalan ke kamar mandi. Hanya dengan beberapa langkah aku mencapainya.

Aku kembali ke ranjangku dengan pelan. Aku tahu, aku lemah tetapi itu tidak menjadi alasan bagiku menjadi benar - benar tak berdaya.

Aku berpikir haruskah aku meminta Misca untuk datang menemaniku? Dia mungkin saja mau bila ia tidak sedang sibuk. Tapi, ah, biar saja! Aku tidak ingin jadi beban baginya.

***

SiskaWhere stories live. Discover now