[Sepuluh] Menjadi Pertanyaan.

Start from the beginning
                                    

Xalio menggigit punggung tangannya. Ia melihat Evos yang tengah melakukan pekerjaannya melalui dinding kaca. Semua orang yang berada di dalam sana tampak serius, berlari mengambil sesuatu dan terlihat sedang berusaha keras. Apapun yang di lakukan orang-orang itu, Xalio harap mereka bisa menyelamatkan Kakaknya.

Xalio tidak menyukai Brayn, karena Brayn selalu menjadikannya sebuah lelucon. Sering mengganggunya seperti anak kecil dan memeluknya tanpa izin. Mulai sekarang, Xalio berjanji akan mengizinkan. Tidak masalah ia di jadikan lelucon, Mengganggunya bahkan memeluknya. Xalio akan mengizinkan semua hal yang sering Brayn lakukan padanya dengan satu syarat. Brayn bangun sekarang.

"Gue akan kuliah. Gue janji akan ikutin semua kata-kata lo. Kak, please. Bangun demi gue."

Kedatangan sosok perempuan cantik yang menatapnya teduh. Xalio menunduk, Resya bukan menghampirinya. Melainkan mendekati Syanes.

"Hallo, Pa," Xalio terduduk. Ia memeluk kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya di antara lipatan kaki. "Kri-tis, Pah," pertahanan Xalio runtuh. Ia butuh seseorang sekarang. Ia ingin Tengku segera tiba dan menjadi tempat dimana Xalio bisa menangis.

"Anakku," Syanes menangis lagi begitu kedua matanya terbuka. Ia mencoba bangkit untuk melihat keadaan Brayn namun di cegah oleh orang-orang. Ia menggeleng seperti orang putus asa. "Ya Tuhan, Nak, Jangan tinggalin Mama, Kak. Jangan tinggalin Mama," Syanes terpuruk. Penampilannya yang selalu rapi kini menjadi sangat berantakan.

Kalimat Syanes membuat semua orang berkaca-kaca. Mereka memahami perasaan Syanes saat ini.

Xalio menghapus air matanya sebelum menghampiri Syanes. "Ma, tenang dulu," meraih kedua bahu Syanes.

"Kakak kamu kenapa, Dek," Xalio memeluk Syanes. "Mama mimpi kan, ya? Mama masih di rumah sama kamu,"

Xalio mengusap punggung Syanes. Tidak bisa menenangkan ibunya karena Xalio juga tidak tahu cara menenangkan dirinya sendiri.

Dua jam lebih Evos berusaha hanya bisa memberikan kabar yang tidak begitu menyenangkan di telinga. "Brayn koma,"

**
***
**

Kabar jika Brayn masuk rumah sakit langsung dengan cepat sampai kepada orang-orang terdekat Brayn. Kepulangan Romeo mendadak ke Indonesia meninggalkan semua aktivitas pekerjaan penting.

Sekali lagi. Syanes memberikan ciuman di kening Brayn, karena hanya bagian itu yang lolos dari semua selang yang tertancap di wajah dan tubuh Brayn. Suara monitor yang terus berbunyi, suhu ruangan yang sudah di atur, dan aroma segar agar selalu fresh.

Kedua tangannya sudah terpasang infus, transfusi darah, cairan dan berbagai macam obat di masukkan melalui selang infus.

"Sahabat Aa' mau jenguk. Mama tinggal, ya,"

Syanes memberikan ruang untuk Migel dan Romeo yang baru saja masuk. Menggunakan gaun terusan protektif berwarna hijau yang menutupi seluruh tubuh. Wajib di pakai jika ingin membesuk pasien ICU.

Ruangan itu hanya Brayn penghuninya, sebuah tempat khusus yang Syanes sediakan. Mempermudah jika ada yang ingin melihat Brayn lebih lama.

Ekspresi pertama yang diperlihatkan keduanya adalah tertawa. Romeo sampai tidak bisa berhenti menyeka ujung air matanya akibat kerasnya ia tertawa. Migel hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Berjalan mendekati Brayn.

"Heh, lo acting doang, kan?" Romeo berjalan mendekat. Menarik kursi dan duduk di samping monitor. "Yaelah, Bray. Acting gak segini juga kali, ah,"

"Bangun lo, gak ada siapa-siapa disini. Lo gak bisa acting depan kita," Sahut Migel menendang kaki Brayn.

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now