Bisa dibilang, ini adalah hari terbesar dalam hidupku!
"Pagi!" Sapaku kepada Ibu dan Ayah yang sudah rapi di meja makan dan sedang menikmati sarapan.
"Pagi sayang, sana jangan makan."
"Buu!" Aku mendengar Ayah tertawa, "Ayah juga?"
"Ibu kamu sih doyan bercanda, Ayah kan jadi gemes."
"Ih Ayah mah, bikin baper aja. Jadi pengen nyiram pake air mendidih kan jadinya," kami tertawa bersama. Kedua orang tuaku memang senang bergurau, wajar namanya juga keturunan Sunda yang memang tersohor karena suka bercanda.
"Nih, Do," Ibu memberikan sepiring pancake dengan siraman sirup apel dan buah ceri di atasnya, "kesukaan kamu."
Ini bukan menu sarapan biasa di sini, aku tahu. Namun, pancake adalah salah satu makanan favoritku. Ibu biasa memasakkanku ini untuk sarapan bila ada acara spesial hari itu. Karena Ibu percaya, jika hari dimulai dengan sesuatu yang membuat mood kita baik, maka kita akan dapat melewati hari seberat apapun.
"Makasih, Bu," aku langsung menyantap sarapanku dengan rakus.
"Dino mana?"
"Kak Dino masih mandi, kaya gatau aja dia kalau mandi berapa lama, Yah."
Kamar mandi adalah panggung gladi kotor Kak Dino. Minggu depan, Kak Dino berencana untuk ikut salah satu ajang pencarian bakat. Kalau tidak salah, namanya Z Factor. Maka dari itu, dia berlatih bernyanyi setiap ada kesempatan dan bahkan mulai menyentuh instrumen.
Baru menyentuh sih, belum ada niatan buat belajar main.
"Ibu sama Ayah bakal dateng, 'kan?" Tanyaku mencoba memastikan.
Mereka berdua beradu pandang, "pasti dong, sayang. Ibu uda izin buat pergi nonton penampilan kamu sampai akhir! Ayah juga, 'kan?"
"Iya, Ayah juga."
Aku tersenyum. Aku senang sekali orang tuaku ada disaat-saat momen terbesar dalam hidupku. Meskipun aku baru menginjak kelas lima sekolah dasar, namun tidak semua kelas lima memiliki kesempatan untuk mewakili Indonesia di ajang internasional.
"Nah, kamu turun juga, Dino."
"Haha, gimana konsernya? Emang enak ya, konser ditontonin jamban sama sikat wc?" Goda Ayah kepada Kak Dino.
"Yang penting Pak Jamban sama Bu Sikat WC punya selera dalam milih suara, yaa."
"Jadi suara Ibu jelek, gitu? Pernah digaplok sama gas elpiji gak?"
Kami kembali tertawa. Tipikal pagi yang menyenangkan di rumahku.
____
"Kakak cuma bisa nganter sampe sini. Kakak duduk di barisan depan, kok. Kamu jangan gugup, ya?" Kata Kak Dino sesaat setelah kami sampai di pintu backstage, "eh, kamu gugup aja deh biar gagal. Kakak gasuka kamu sukses."
Aku sempat kaget karena Kak Dino yang tiba-tiba saja mendukung gitu, untung ngga terharu duluan.
Aku mencubit perutnya brutal, "nanti teleponin Ibu sama Ayah ya, Kak?"
Kak Dino mengangguk dan kami akhirnya berpisah. Aku mendapat nomor urut cukup depan, awal yang baik mengingat para juri masih dalam kondisi prima di awal-awal acara. Tetapi aku tidak bisa mengatakan para juri nanti akan lelah atau hilang fokus saat penilaian, mengingat ini adalah kualifikasi yang cukup penting.
Aku merasakan jari jemariku berkeringat. Bukan hanya aku, tapi peserta lain juga aku yakin merasakan hal yang sama. Kami sudah berlatih keras, aku percaya itu. Semua yang berada disini telah mencurahkan segalanya, namun bila dihadapkan dengan audience yang banyak tentu siapa saja akan merasakan gugup alias demam panggung.
Aku berusaha mengingat kata-kata Ibu untuk menenangkanku. Aku sudah memulai hari dengan mood yang baik, aku pasti bisa melewati hari seberat apapun!
Aku memiliki kesempatan untuk mengintip para audience dari balik layar sebelum upacara pembukaan dimulai. Di barisan terdepan, aku dapat menemukan Kak Dino. Di sebelahnya, terdapat dua kursi kosong dengan papan bertuliskan 'Reserved'. Kak Dino terlihat sedang berbicara melalui telepon, raut wajahnya terlihat tidak menyenangkan.
"Hei, kamu peserta? Tolong berkumpul di ruang tunggu untuk mengambil nomor urut. Jangan ngintip gitu ya, nanti bintitan, lho."
Aku tak menghiraukannya, aku lebih cemas pada Kak Dino yang terlihat tidak baik. Akan tetapi, aku memiliki penampilan yang menuntutku untuk fokus sepenuhnya.
Setelah menunggu untuk beberapa puluh menit, tiba saatnya giliranku. Aku masih mencoba mengingat nasehat Ibu untuk menenangkanku, dan instruksi-instruksi Ayah selama Ayah melatihku, bahkan hingga kata-kata menyebalkan Kak Dino yang sebetulnya selalu bermaksud baik. Semua agar aku dapat mengurangi rasa gugupku.
Bukannya berkurang, rasa takut malah menyerang ketika aku melangkahkan kaki ke arah piano klasik di tengah panggung itu. Terutama ketika aku melihat dua kursi dengan papan bertuliskan 'Reserved' yang masih bertengger di sandaran. Kak Dino terlihat memaksakan senyumannya, membuatku semakin cemas.
Pikiranku kosong. Aku tiba-tiba saja diserang firasat buruk. Aku tetap bermain, namun aku sama sekali tidak dapat mengingat bagaimana permainanku. Yang pasti, aku harus segera menyelesaikan permainanku karena panggung ini entah mengapa membuatku sesak.
Hal terakhir yang kuingat sebelum membungkukkan kepala setelah performaku adalah tepuk tangan riuh yang memenuhi auditorium dan tatapan kagum semua audience juga dewan juri. Semua itu tidak penting, kepalaku kacau balau. Sedih, marah, kecewa, tapi juga khawatir semua bercampur menjadi satu.
"Do!" Aku menemukan Kak Dino di ruang tunggu peserta. Sejak kapan Kak Dino ada disini?
"Kak, mana-" Tanpa mengetahui kenapa, Kak Dino langsung berlari dan memelukku erat. Aku yang jauh lebih pendek darinya menengadah, dan melihat punggungnya bergetar hebat.
Kak Dino terisak dalam pelukannya, "I-Ibu ... "
Saat itu juga, hal yang aku ingat pertama kali adalah nasehat Ibu. Tapi maafkan aku, Bu, kelihatannya hari ini terlalu berat meskipun aku sudah memakan pancake buatan Ibu. Aku tidak yakin apa aku bisa melalui hari ini, atau bahkan hari-hari setelah ini.
Rasanya seperti salah satu bagian dari diriku direnggut dariku.
"Ibu kecelakaan, Do ... "
YOU ARE READING
Pssh! I'm a Fudan!
Teen FictionBagi sebagian besar cewek, kriteria cowok yang pacar-able itu adalah sebagai berikut: ☑️ Ganteng ☑️ Romantis ☑️ Perhatian ☑️ Memiliki roti sobek ☑️ Dapat menjadi imam yang baik Pada umumnya, ya, kurang lebih seperti itulah. Dan, ada kabar gembira un...
Part XIV: Part of Me (2.1)
Start from the beginning
