[tujuh] Pertemuan Tak Terduga

Start from the beginning
                                    

Brayn memutuskan untuk mencari ikan. Mungkin satu atau dua bisa menjadi lauk makan. Mencari cacing di pinggiran danau untuk dijadikan umpan.

Mengajari Candice cara melempar umpan ke tengah danau. Keduanya duduk di kursi lipat selagi menunggu umpan mereka di makan ikan.

"Kenapa?" Tanya Brayn saat sadar Candice terus menatapnya.

"Sebenernya aku udah lama mau bilang sama kamu." Candice memberi jeda sebentar. "Aku udah bisa ngerasain kantuk. Aku bisa tidur beberapa malam ini,"

"Serius?" Candice mengangguk. "Terus? Apa lagi?"

"Udah, itu aja."

"Rasa berdebar kalau dekat lawan jenis?"  Candice menggaruk telinganya. "Kamu pernah malu nggak dekat sama aku?" Brayn menyipitkan matanya. "Kayaknya nggak, aku mandiin aja kamu gak punya rasa malu," jawabnya sendiri. "Can?"

"Em?"

"Yang boleh sentuh kamu hanya aku. Ingat itu. Kalau ada lelaki yang mau sentuh kamu, kamu harus lari,"

"Kenapa?"

"Mereka jahat,"

Candice mengangguk. Perhatiannya langsung beralih pada sesuatu yang bergerak di bawah kakinya. "Pancingnya gerak,"

"Tarik sayang, Jangan di ulur, nggak enak di phpin,"

"Hah?"

"Itunya di putar," Tunjuk Brayn. Candice mengikuti instruksi. Karena terlalu berat, Candice sampai berdiri dan menarik sekeras tenaga. Candice tidak pernah mengeluarkan tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan.

Semakin ia tarik, semakin sakit seluruh tubuhnya. Candice meringis namun tidak bisa melepaskan pancing itu. Bibirnya bergetar dengan ketakutan yang menyelimuti tubuhnya, Candice menatap danau yang begitu tenang. Ia menggeleng kuat dengan perasaan takut. Bukan dirinya yang menarik, tapi Candice yang di tarik hingga tubuhnya jatuh ke air.

"Can! Akh," Brayn yang berdiri langsung terjatuh. Ia meringis kesakitan memukul dadanya. Brayn tidak bisa bernapas, entah apa yang menghalanginya namun Brayn tidak bisa menghirup oksigen.

Wajahnya seolah tercekik. Ia menatap danau, terjadi sesuatu di dalam air. Teriakan Candice dengan air yang berhamburan ke udara. Brayn berteriak namun tidak bisa. Ia kesal.

Langit yang tadinya cerah dan berawan berubah gelap seketika. Brayn melihat perubahan itu dengan matanya sendiri, ia menatap langit, gumpalan awan hitam di atas sana seolah sedang mengamatinya.

"Can," Brayn berusaha bangkit, wajahnya merah dengan mata berkaca-kaca. Begitu bibir itu berteriak, Brayn merasakan tubuhnya di cabik. "Jangan teriak, Can," ujarnya memohon dengan pelan.

Brayn terjatuh lagi. Ia menutup telinganya yang ingin pecah karena teriakan Candice. Hujan yang turun secara tiba-tiba, angin kencang dan daun yang bertaburan. Pohon-pohon bergerak tidak karuan seakan di gerakan oleh seseorang. Brayn menggeleng kuat.

"Sesuatu terjadi pada manusia. Takdir. Jika memang berbeda dari semua manusia lainnya. Kenapa? Setidaknya beri satu alasan. Haruskah? Aku ingin jawaban itu sekarang! Aku ingin tanya kenapa harus aku! Aku yang memilih? Ya! Tapi aku tidak meminta! Jika memang dia, tolong aku.. tolong aku untuk bisa menolongnya.."

Suara petir menggema seketika. Kilatan seperti flash kamera terlihat jelas. Ngaungan hewan tertangkap telinga. Brayn merasa semakin tercekik. Hantaman air danau yang begitu keras mengakhiri semua rasa sakitnya.

Brayn kehilangan kesadaran. Ia tergeletak begitu saja. Keadaan semakin memburuk, alam mengaung semakin menjadi. Teriakan yang keras dan lantang bagaikan badai besar menerjang.

Outcast [COMPLETED]Where stories live. Discover now