Febri tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bilang, "iya, Kang."

"Oke, beralih ke satunya lagi," kata Kang Jupe yang mungkin ingin berbicara dengan Henhen, dari hati ke hati, macam Mamah Dedeh dan jamaahnya tengah curhat.

Sementara itu di rumah Hernawan Wijaya tengah terjadi kepanikan. Alma ribet sendiri mencari syal dan jersey barunya, jersey hadiah dari Febri. Diantara tumpukan jersey klub lain yang memang dia seleksi. Klub kebanggaannya boleh Persib, tapi dia punya banyak hal yang disukai klub lain. Sebab Alma tak pernah mau terlalu rasis atau fanatik terhadap bola. Toh suka dan benci yang berlebihan itu tidak pernah baik.

"Dik, sudah belum?" Teriak Mama dari ruang keluarga. "Mbok, bantuin Adik dulu ya?"

"Iya, Bu," jawab Mbok Nanik yang langsung mendekati pintu kamar Alma.

"Sabar ya, Nak Milan," pada Milan yang tengah duduk di sofa sambil tersenyum. 

Milan sudah datang setengah jam yang lalu. Memakai jersey lama Persib yang menjadi saksi bisu kemenangan di liga waktu itu. Menggendong tas kecil berwarna hitam di punggungnya dan rambut yang tergerai indah.

"Iya, Tante. Enggak apa-apa, saya mah santai," jawabnya tersenyum lagi. "Terimakasih lho, Tan. Sudah mau ngajak saya nonton, di VVIP lagi."

Mama tersenyum. "Iya, itu juga keinginan Om. Penasaran sama yang namanya Milan, kok baru berapa hari di Bandung Alma sudah langsung dekat."

"Hehe, iya, Tante. Saya sempat kaget kok Dik Alma follow Instagram saya sampai DM banyak banget katanya teh penting. Saya pikir kan Almanya kenapa-kenapa, minta bantuan gitu. Tahunya teh, cuma mau ngasih tahu kalau ngajak nonton Persib."

"Ya gitu, Papanya yang nyuruh. Nanti tukeran nomor telepon aja sama Alma, Nak Milan. Biar besok-besok kalau janjian enggak ribet."

"Sudah kok, Tan."

"Enggak sekalian nomor teleponnya Febri?"

"Eh?" Milan kaget sekali tapi pipinya merah merona. "Hehehe," tertawa kaku.

"Enggak apa-apa lho, nanti kalau Alma mendadak enggak bisa dihubungi karena lagi kambuh kan susah kamunya," kata Mama yang sebenarnya juga tengah berusaha mendekatkan. Mungkin Mama juga sudah termakan ide Alma.

"Hehehe," lagi-lagi Milan hanya tertawa singkat.

Mengajukan tangan kanannya. "Mana ponsel kamu? Biar Tante tuliskan."

"Ha? Eh?" Milan menganga lalu menutup mulutnya.

Papa yang ternyata sejak tadi sudah duduk di seberang sambil memakai sepatunya ikut tertawa kecil lalu menggeleng. "Kasih saja, Nak Milan," kata Beliau.

"Hehe," hanya itu yang bisa Milan lalukan sementara Mama masih mengajukan tangannya.

Milan tak enak sebab tangan Mama tak pernah mau kembali. Tapi sejujurnya dia juga mau nomor itu, hanya tidak ingin terlibat saja. Sekarang orang gila mana yang nolak nomor ponsel pemain sepakbola. Yah, meskipun belum seterkenal Evan Dimas atau mungkin, Dimas Drajad, atau mungkin Hansamu Yama Pranata. Setidaknya Febri adalah bagian dari klub besar di Indonesia dengan basis suporter yang besar pula.

Mama mulai mengangkat kedua alisnya. Beliau menunggu gerak cepat dari Milan atau hilanglah kesempatan.

Tangan kanan Milan bergerak lambat, semacam adegan jatuh dalam film peperangan yang dibuat slow motion, memberikan ponsel pada Mama-nya Alma.

"Gitu dong," sahut Mama cepat yang langsung membuka kunci ponsel Milan. Lihai sekali Mama ini bermain-main ponsel, jemarinya cepat tapi terhenti karena salah fokus pada wallpaper di ponsel Milan.

Sayap GarudaWhere stories live. Discover now