⚽ TUJUH ⚽

2.4K 225 18
                                    

Malam menjelang saat Febri menginjakkan kakinya di halaman rumah. Diurungkan niatnya untuk tidur di mess Persib bersama yang lain. Malam ini dia hanya ingin pulang dan melihat Alma.

"Assalamualaikum," sapa salamnya ketika membuka pintu. Raut wajahnya lesu dan tidak bersemangat.

"Wa'alaikumsalam," jawab Alma yang langsung berlari ke arah Febri dengan hidung tersumbat kapas.

Febri langsung mencengkram kedua bahu Alma. "Adik mimisan lagi?"

Mengangguk, "tadi di tribun juga, dibantuin sama Teh Milan. Tapi udah enggak sih." Membuka kapas dan menunjukkannya pada Febri.

Menghela napas lega. Lantas duduk di sofa ruang tengah, ruang keluarga yang sering kali menjadi tempat Alma dan Febri berteriak mendukung klub masing-masing di depan layar televisi.

"Lain kali nonton di tribun VIP aja sih, Dik. Enggak terlalu sesak seperti tadi, Kakak khawatir." Katanya melepas sepatu dan meletakkan tasnya di samping kiri.

"Kalau di VIP enggak akan ketemu sama Teh Milan," kata Alma.

Febri memandang Alma dua detik. "Mau Teh Milan, mau Teh Tawar, mau Teh Manis, mau Es Teh, mau apa kek, enggak peduli. Yang Kakak pedulikan cuma kamu, Dik. Kesehatanmu, kalau sesak kaya gitu kan bahaya."

Alma hanya mengangkat kedua alisnya. Dia tidak mengerti, biasanya Febri tak berbicara sekeras ini. Dia juga tidak seemosional ini. "Nyatanya Alma enggak apa-apa. Kok Kakak emosional banget, biasanya juga enggak apa-apa Alma di tribun biasa sama Mama. Kalau sendiri baru enggak boleh kan?"

"Tahulah, kamu tuh emang enggak pernah nurut sama Kakak!"

Semakin tidak dimengerti oleh Alma. Haruskah masalah kecil diperbesar semacam itu? Toh Alma tidak mengalami masalah yang parah, hanya mimisan dan itu biasa terjadi pada penderita Kanker Darah atau leukimia.

Febri beranjak dari tempatnya saat Mama baru saja datang membawa obat-obatan milik Alma. Dia tidak mengatakan apapun, hanya raut kecewa, sedih, dan marah yang bercampur menjadi satu.

"Kakak kenapa?" Tanya Mama pada Alma.

Alma menggeleng. "Enggak tahu, Ma. Katanya gara-gara Alma nonton di tribun biasa dan Alma mimisan. Kan aneh, Ma, gitu doang."

Mama tersenyum tipis. "Kakakmu capek itu, sudah kalah, dengar Adik tersayangnya mimisan. Wajar, Dik. Cobalah kamu ajak bercanda. Tapi minum obat dulu." Menyodorkan beberapa butir obat dan segelas air putih.

Dipandangnya obat itu, Alma pasti bosan dengan segala obat yang diminumnya. Terlebih obat untuk penyakit kanker itu banyaknya minta ampun. Tidak macam obat orang-orang sakit flu.

Diteguknya segelas air putih, lalu diambilnya beberapa butir obat, susah payah dia menelannya dan diakhiri lagi dengan air putih.

"Kak," panggil Alma sembari mengetuk pintu kamar Febri yang terkunci. "Alma pengen masuk nih," katanya lagi tetap mengetuk pintu.

Sekian lama tidak ada jawaban, tapi pintu akhirnya dibukakan, dan didapati Febri dengan wajah lesunya lagi.

Gadis itu tak langsung mengatakan sebuah kalimat, dia hanya berjalan masuk dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Febri. Memejamkan mata sejenak dan membiarkan Febri hanya duduk di tepi tempat tidur.

"Maafin Kakak hari ini tidak bisa memberikan 3 point buat kamu," kata Febri setelah diamnya yang sangat panjang.

Kelopak mata Alma membuka, dipandangnya langit-langit kamar sepersekian detik lalu dia mengangkat tubuhnya. "Apa karena kalah itu Kakak jadi emosional?"

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang