11 : Lembar terakhir

2.7K 631 37
                                    

Mark dan Jeno menatap heran Sanha yang berdiri di depan mereka sembari menangis.
Bahkan Mark dan Jeno belum mengatakan apa pun, tapi lelaki itu langsung menangis begitu datang.

"Maafkan aku."

Jeno menagangkat alisnya. "Aku bahkan-"

"Aku tahu kalian ingin mengatakan apa," potong Sanha sembari menghapus airmatanya. "Ingatan Mark hyung pasti sudah kembali dan mengingat apa yang sudah aku lakukan, tapi..., tapi tolong jangan menekanku, aku benar-benar sudah tertekan selama ini dan hidup di kelilingi oleh rasa bersalah."

"Kalau begitu, ceritakan," pinta Mark membuat Sanha menggeleng takut. "D-dia akan membunuhku kalau aku mengatakan yang sebenarnya."

"Maksudnu Park Jihoon?" tanya Jeno tepat sasaran. Sanhan menatap Jeno tak percaya. "Bagaimana bisa...,"

"Ceritakan saja atau kupanggil Jihoon kesini," ucap Jeno enteng membuat Sanha melotot. "Kau gila!"

Mendapat tekanan seperti ini, mau tak mau membuat Sanha jujur.

"Waktu itu, sebelum aku menjenguk Mark hyung, aku melihat Jihoon hyung sedang berdiri di depan pintu ruang rawat. Ekspresinya terlihat mencurigakan. Awalnya aku hanya berniat menyapa, tapi dia terlihat terkejut melihatku.
Aku tak tahu sejak kapan, tapi tiba-tiba, Jihoon hyung mengawasi gerak-gerikku. Dia bahkan memperhatikanku seperti harimau memperhatikan mangsanya. Dan saat mendengar kabar Mark hyung sadar dari koma, dia bilang aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, dia akan mencabut beasiswaku."

Mark menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Mengerti betapa menderitanya Sanha. Lelaki itu tersenyum. "Tak apa, Sanha."

"Tak apa bagaimana! Ini tentang nyawa manusia tahu! harusnya di laporkan ke polisi!"

Mendengar Jeno menyebut kata polisi membuat Sanha gemetar. "To-tolong jangan. Aku hanya hidup dengan kakak perempuanku. Jangan lapor aku ke polisi."

"Jeno, jangan emosi." Mark mematap Jeno yang juga menatapnya dengan tatapan tak suka. "Kau tahu kan siapa yang salah disini, jadi jangan bertindak semborono."

"Melapor ke polisi adalah pilihan yang tepat..., hah terserah kau saja," ucap Jeno pasrah begitu Mark menatapnya dengan tatapan memohon.

Sanha menatap Mark dan Jeno bergantian dengan tatapan ragu. "Se-sebenarnya, Jihoon hyung sudah tahu jalau aku akan kesini."

"Lalu?" tanya Mark membuat mata Sanha berair. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, t-tapi kalau terjadi sesuatu padaku, boleh ku titip kakakku?"

"Kau bicara apa sih? Memangnya Jihoon akan membunuhmu? Ck, jangan bercanda. Lelaki itu otaknya pasti di lutut kalau sampai melakukan hal itu," ucap Jeno sembari memutar matanya.

"Tapi, dia bahkan meracuni murid baru."

"Kau tahu?"

"Iya aku tahu," jawab Sanha sembari mengangguk membuat Mark semakin tak habis pikir dengan Jihoon. "Sebenarnya Jihoon itu kenapa? Keluarganya kan baik-baik saja, apa yang salah dengannya?"

"Keluarganya memang baik-baik saja, tapi jiwanya bermasalah," jawab Sanha membuat Mark dan Jeno terkejut. "Saat kecil dia pernah di culik dan mengalami trauma, lalu sewaktu sekolah dasar, dia juga mengalami pembullyan."

***

Baik Mark atau Jeno pikir, menangkap Jihoon akan sulit, nyatanya lelaki bermarga Park itu menyerahkan dirinya sendiri ke polisi entah karena apa.

Semuanya berjalan tak sesuai dengan ekspetasi, terlalu mencurigakan.

"Jihoon hyung bilang untuk memberikan ini padamu," ucap Sanha sembari memberikan sebuah amplop putih pada Mark begitu Jeno keluar dari ruang rawat.

Mark segera membukanya dan membulatkan matanya begitu melihat isi surat Jihoon.

Halo, Mark.

Nikmati waktumu selama aku tak ada. Silahkan tertawa sebanyak yang kau mau.

Karena bisa saja jika aku datang kembali, sebuah senyum takkan lagi terlukis di wajahmu.

Mark merinding dan segera menyembunyikan surat tersebut sebelum Jeno datang. Lelaki itu lalu menatap Sanha yang menatapnya bingung.

"Jangan katakan tentang surat ini pada Jeno ya, tolong."

Sanha mengangguk lalu menghela napas. "Sepertinya Jihoon hyung akan terbebas karena memiliki kelainan."

"Entahlah."Mark tersenyum lalu berjalan ke arah pintu. "Aku pergi dulu. Katakan pada Jeno kalau aku sedang mencari udara segar di atap."

Nyatanya, Mark berjalan menuju kamar Eunho, bukan ke atap seperti perkataannya pada Sanha tadi.

Mark hanya merasa seperti dia merindukan gadis bermarga Go itu.

Rindu? Mark terkekeh mengejek dirinya sendiri. Di saat seperti ini harusnya dia merasa takut, terlebih karena surat ancaman Jihoon. Namun Mark lebih memilih memasrahkan keadaannya.

Mark mengerutkan keningnya begitu melihat Eunho tengah serius menulis sesuatu di buku.

"Eunho?" Eunho terkejut dan menoleh. Senyum terlukis di wajahnya begitu melihat Mark. "Hai, Mark! Sudah hampir seminggu kita tak bertemu."

"Ya begitulah, aku sibuk," ujar Mark sembari duduk di sofa kamar rawat Eunho. "Kau sedang apa?"

"Menulis." Mark mengerutkan keningnya. "Kau bisa menulis juga ternyata."

"Kau minta kupukul, ya?" Mark tertawa melihat ekspresi sebal Eunho. "Kau menggemaskan, Eunho."

"Apa?"

"Aku bilang, kau menggemaskan. Apalagi saat pipimu memerah," ucap Mark.

Pipi Eunho semakin memerah, gadis itu kembali menulis sambil berkata, "Berhenti bicara omong kosong, Mark Lee."

Mark tertawa lagi. "Terserah kau mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku mengatakan sebuah fakta."

"Eh, jangan mengintip!" teriak Eunho tanpa sadar begitu Mark hampir mngintip buku hariannya.

"Lagian kau serius sekali," ucap Mark cemberut. "Omong-omong, itu lembar terkahir buku harianmu ya?"

"Iya, ini lembar terakhir."

Mark berusaha mengintip tapi gagal . "Kau menulis tentang apa?"

Eunho tersenyum sembari berucap, "di lembar terakhir ini, aku menuliskan tentang aku dan kau, yang takkan mungkin menjadi kita."

"Apa?"

____

Aku ngestuck makanya alurnya kayak kecepatan gini...,

20 April 2018.

Breathe Again | 𝘔𝘢𝘳𝘬 𝘓𝘦𝘦 ✔Where stories live. Discover now