XXVIII - Best Fri (Until) End

Start from the beginning
                                    

Agaz kembali tergelak. "Kamu kok jadi suka gombal?"

Mobilnya telah berhenti di depan rumah Anya. Aku tersenyum lebar, menggodanya. "Yang buat aku kayak gini siapa?" Aku mencubit lesung pipi kirinya.

Tanganku langsung membuka pintu, bersiap untuk keluar. Namun, pria di sampingku menahan lenganku sebelum aku sempat menurunkan kakiku keluar mobil.

"You've forgetten something, Echa." ujar Agaz kalem.

Aku menarik sebelah alisku. "What?" Aku menoleh ke belakang kursi, lalu kembali meliriknya. "Kayaknya kita cuma semaleman deh di Surabaya. No koper, no baju, no-"

"Kissing." timpal Agaz tersenyum lebar.

Aku memutar kedua bola mataku begitu jengah dengan permintaannya. Aku mencondongkan wajahku ke arahnya, merengkuh rahangnya, lalu mengecupnya sekilas. Aku mengulas senyum, mengusap ujung bibirnya sebelum meninggalkan Agaz. Pria di depanku mengecup keningku, lalu membiarkanku keluar dari mobil.

Kakiku melangkah ke depan pagar bersamaan dengan suara bising klakson mobil Agaz yang berlalu meninggalkan kontrakan Anya. Aku langsung membuka pintu setelah mendorong pagar ke samping.

Perempuan dengan celana pendek di atas lutut dan kaos oblong ketat telah duduk santai di atas sofa dengan perhatian sepenuhnya ke ponsel. Langkah kakiku menarik perhatiannya dari ponsel ke arahku.

"Tumben loe ke sini?" tanya Anya begitu aku duduk di sampingnya.

Aku langsung memamerkan senyuman lebar kepadanya. Tanganku kiriku terangkat ke depannya. "Guees what, please." mintaku dengan nada merajuk.

Anya melirikku, kemudian melirik ke tanganku yang bergerak terus di depannya. "Agaz ngelamar loe?!" pekik Anya tertahan dengan ponsel telah terbuang dari tangannya, yang jatuh ke pangkuannya.

Aku memiringkan kepalaku, tersenyum lebar dengan kedua akis terangkat-angkat. "We have to celebrate my happines, Nya!"

"Kalau jam segini cuma daerah Jaksel clubbing buka, Echa sayang." timpal Anya lalu kembali menekan ponselnya.

"No. Just drinking without party." sanggahku cepat

"Ngebar?"

Aku mengangguk antusias. "Bertiga, ya? Kalau Pak Bos mau ajak istrinya ya nggak masalah."

Anya menjawabnya dengan anggukan, lalu kembali menekan layar ponselnya.

"Jadi, apa yang kita omongin dulu ngebuka pintu hati loe, ya, Cha?"

Aku mengerutkan keningku setelah kami memilih diam beberapa menit.

"Jangan sok nggak tahu lagi, ya, Cha, kalau loe lupa dulu pernah bilang Agaz itu makanan basi yang nggak layak dimakan." Anya tersenyum meledek.

Aku menggigit bibir bawahku, mencari alasan untuk membantu kekekianku sendiri. "Dulu, ya dulu. Sekarang, ya sekarang."

Anya tersenyum lebar. "Yang penting, Agaz udah berhasil buat lunturin penyakit keras kepala loe. That's more important, sweatheart."

Sudut bibirku terangkat. "Agaz itu udah lunturin semuanya. Semuanyaa."

Anya mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian, dia kembali tergelak saat mengetahui maksudku. "Itu kodrat mereka kali."

###

"Loe dilamar di kuburan, heh?!" pekiknya tertahan setelah menyesap sparkling wine, kemudian meletakkannya di meja bar.

Aku mengangguk kalem, kembali menyesap minumanku.

"Romantis darimana itu, ya?" ledek Anya, lalu meneguk winenya kembali. "For your information, ya, Echa. Seaneh-anehnya dilamar sama laki, nggak ada laki yang ngelamar wanitanya di kuburan. Yang ngelakuin itu, ada dua alasan. Pertama, takut ditolak, jadi pilihannya, dukun bertindak. Yang kedua, dia mau ngajak loe mati bareng!"

Unboxing of Feeling #ODOCTheWWG4Where stories live. Discover now