XXVIII - Best Fri (Until) End

25 4 0
                                    

If you can't take it, climb with your bestfriend.

Sejak dua jam yang lalu, dua sudut bibirku yang terangkat ke atas seakan tidak mengenal rasanya ngilu. Kedua mataku seolah tidak mengenal yang namanya penglihatan selain mengamati benda bulat yang melingkar di jemariku. Seakan-akan benda ini lebih menarik 99% perhatianku dari apapun di dunia ini.
Aku bahkan tidak memedulikan dua pramugari cantik ini mengucapkan selamat jalan kepada kami.

"Kamu nggak bosan lihat itu terus, Cha?" Agaz berseru setelah kami keluar dari bandara.

Aku menelengkan kepalaku kepadanya, menggeleng masih dengan antusiasme besar.

"Ini karena kamu cinta sama merk cincinnya atau karena aku?"

Aku mengerutkan keningku, menurunkan tanganku kembali ke sisi pinggang kiri dengan menatapnya. "Mau jujur, nggak?"

Agaz hanya mengedikkan bahunya.

"Kalau ngikutin logika cewek sih, ya aku lebih cinta sama merk cincin yang kamu beli ini." kelakarku dengan senyum menggodanya. "Tapi ya karena aku ngikutin logikanya Echa Revallina, aku lebih cinta yang ngasih."

Dia memutar kedua bola matanya, terlihat jengah dengan kelakarku.

"Harga cincin ini urusan kesekian. Kamu urusan terpenting." imbuhku meliriknya gemas.

Dia hanya menggeleng pasrah. Dia kemudian mengamit tanganku ketika keluar dari bandara menuju ke parkiran mobil. Aku membiarkan pria ini merangkul bahuku, membiarkan tubuhku didekap erat olehnya saat berjalan. Kadang saat kami berjalan di parkiran, yang untungnya jalanan terlihat lenggang, Agaz tidak hentinya mendaratkan kecupan di atas puncak kepalaku.

"Nanti aku anterin pulang ke rumah atau ke mana?" Agaz melepaskan dekapannya, membiarkanku melangkah ke sisi pintu penumpang.

Dari balik mobil, aku menjingkatkan kakiku. "Nggak. Aku mau pamer ke Anya dan Pak Bos." jelasku mengangkat tanganku tinggi-tinggi.

Agaz mengerutkan keningnya. "Jangan bikin orang ngiri, Sayang."

"No!" tampikku cepat. "Aku cuma mau bagiin my happiness ke mereka semua."

Agaz hanya diam, lalu masuk ke dalam mobil. Aku mengikutinya.

Agaz yang telah menyampirkan sabuk pengaman di tubuhnya, tiba-tiba berkata, "Emang bahagia banget, ya kamu?"

Aku memasang sabuk pengaman. "Agaz sayang, dilamar itu sudah jadi the biggest dream para perempuan di luar sana. Nggak perlu kayak dongeng-dongeng di atas sana, ngelihat pria berlutut di depan kita itu udah bikin we have been taking control of men!"

Pria di sampingku menggeleng. Dia terlihat tidak suka dengan asumsiku. Tanpa mengindahkan kalimatku tadi, tangannya telah mendorong persneling mobil, lalu menjalankan mobil keluar dari halaman bandara.

"Kenapa harus seperti itu?"

Aku menelengkan kepalaku. "Karena kalian itu rada predator kalau ngelihat kami. Jadi, gimana gitu, lihat predator sembah sujud ke umpan."

Agaz tergelak. "Nanti akhirnya kalian juga kita makan."

"Seengaknya kalian pernah sembah sujud ke kita. Itu udah bikin kita bahagia." timpalku dengan tersenyum menang.

Agaz kembali tergelak. Tangannya memutar setir ke kanan. Mobilnya berhenti ketika berada di jalan sempit, bergantian dengan mobil yang menyebrang ke arah kami. Setelah itu, dia menjalankan mobilnya, memasuki perumahan kontrakan Anya.

"Udah kabarin ke Ibu?" tanya Agaz setelah mobilnya terasa melambat.

Aku mengerutkan kening. "Buat ap-" Aku menepuk keningku kemudian, lalu berkata, "Lupa sayang. Gara-gara kamu kasih happinessnya kebanyakan."

Unboxing of Feeling #ODOCTheWWG4Where stories live. Discover now