Bab XV- Let me handle your life again

20 3 0
                                    

Hidup itu simple. Tinggal mengaku. Tapi, sayangnya, mengaku itu lebih sulit ketimbang berbohong.

Kakiku terseok ketika meninggalkan ruangan ini. Kepalaku terasa berat untuk ditegakkan. Kurang dari sepuluh menit dia telah menyelesaikan maksud dari pertemuan kami, dan lebih dari lima belas menit, aku meringkuk di atas kursi, menahan beban yang menguar dengan isakanku.

"Awak tak mau tolerin kau kali ini, Echa." Pria tambun itu bersendekap di dekat meja makan, menatapku lekar-lekat. "Kelen minta sepuluh menit, tapi dikasih jantung kelen minta hati. Hampir 30 menit awak nunggu kau."

Aku mengangguk lemah dengan wajah tertunduk lemas.

"Awak sedang cakap sama kau, Echa. Lihat ke awak bukan ke lantai. Cem mana pulak kau ini. Tak paham-paham." Pria tambun ini terdengar berdecak sebal, "gemas awak sama kau. Kau awak kasih SP, mau?"

Aku menggangguk lagi.

"Echa. Kau kenapa pulak?"

Kali ini aku mendongakkan wajahku ke atas.

"Kau nangis?"

Aku mengangguk lagi.

"Karena?"

Aku menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak menginginkan kalimat apapun keluar. Takut. Satu hal yang tengah kurasakan. Jika sekali saja aku mengeluarkan kalimat, walau hanya satu kata, atau mencoba membuka bibirku,  yang terjadi, aku akan meringkuk seperti tadi.

"Duduk." Pak Bos menunjuk kursi kosong di depanku. "Awak emang sengaja untuk nunggu kau."

Manik mataku menatapnya sebentar, kemudian mengikuti perintahnya. Aku menarik kursi agar lebih dekat dengan meja dan bisa membuat tanganku dapat bersandar di atas meja.

"Awak yakin karena Caturangga kau seperti ini. Benar?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

Pria tambun ini menghela nafas keras, lalu berkata, "Awak tahu dia dari koran yang dulu pernah awak baca. Awak tahu cuma dia  itu gubernur yang punya Skandal banyak." Pak Bos menatapku lekat-lekat. Gelengan kepala besarnya berkali-kali dia lakukan, kemudian kembali melanjutkan kalimatnya, "awak cuma tanya, hubungan kau dengan dia apa? Awak kenal kau dan keluarga kau sebelum kerja kek ini. Awak tahu, kau tak punya interest sama politikus. Jadi, jawab ke awak yang jujur, dia siapa kau?"

Bahuku merosot ke bawah, lunglai di atas kursi. "Dia ayahnya Agaz."

Pria tambun di depanku membulatkan matanya. "Gila!" Pak Bos menepuk tangannya sekali. Kembali berkata, "Kau beruntung juga buntung sekaligus, Echa."

Aku menatap ke sekeliling restoran yang mulai hanya terlihat segelintir orang.

"Kau tetap nikah sama Agaz?" Pak Bos bertanya, menarikku kembali dari lamunan.

Aku menggeleng.

"Itu tanda di leher apa?" Tangan Pak Bos menunjuk ke leherku. "Nggak mungkin kalau bukan Agaz kau itu yang buat."

Aku menghela nafas.

"Kalau udah dikawinin, awak yakin kau bakal dinikahin sama Agaz."

"Making a love with Agaz itu nggak semudah making a life with him. Beda, Pak Bos. Komitmen selamanya sama cowok, apalagi Agaz, nggak bisa semudah aku dan dia nyalurin hasrat kayak kemaren. Perlu pemikiran masak, bahkan kalau pikiran kita terlalu masak, malah jadi busuk," Aku mendesah lelah dengan wajah kurang minat dengan topik ini.

"Karena kau ragu?"

Aku mengangguk.

"Atau cuma Agaz yang buat kau jadi ragu dengan yang namanya komitmen sama kami?"

Unboxing of Feeling #ODOCTheWWG4Where stories live. Discover now