Terdengar ditelingaku suara ketukan pintu, membuatku terbangun dari tidurku, berisik sekali.

"Iya sebentar, siapa toh, ganggu saja," kataku sambil menggeliat malas, aku pun berjalan tertatih menuju pintu kamar dan membukakannya.

"Woi, Maghrib... tidur terus!" kata Putra membentak.

"Apa an sih, berisik banget!" jawabku malas.

"Bangun – bangun! Aku bawa makanan ini," katanya bersemangat

"Mana!" jawabku bangkit dari tidurku.

"Nah, besar matamu dengar makanan."

Putra adalah teman kelasku dari SMA, badannya besar, tinggi, kulitnya sedikit hitam, dan wajahnya yang bengis, mampu membuat orang – orang sekelilingnya berpikir dua kali untuk mengganggunya. Aku beruntung mempunyai teman seperti Putra, karena badanku yang kecil, Putra pun bisa menjadi pelindungku, jika suatu saat nanti ada yang menggangguku.

Kedatangan Putra kekosku biasanya hanya untuk bermain saja, namun kali ini sepertinya berbeda, dia membawa seonggok belanjaan makanan ringan, dan aku melihat kantung plastiknya yang berlabel salah satu tempat pusat perbelanjaan dikota Padang. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kekamar mandi, dan kutinggalkan Putra sendiri dikamarku, karena tidak mungkin dia ikut aku kekamar mandi.

Selesai aku membersihkan seluruh badanku, dan tampak segar. Tapi tetap saja cuaca hari ini sangat panas, meski pun sudah mandi dan terasa segar, tidak lama selesai memakai pakaian, keringat pun kembali keluar dari pori kulit.

"Kamu dapat duit dari mana bisa beli makanan sebanyak ini?" tanyaku kepada Putra sambil menyantap hidangan yang dibawa olehnya.

"Mau tahu saja kamu," jawabnya singkat.

"Kamu enggak bobol ATM kan?" tanyaku santai.

"Sudah gila apa bobol ATM, belum aku bobol itu ATMnya, sudah ketangkap duluan aku," jawabnya seperti menghibur, "Eh ini liat, tadi aku motret cewek cantik Rin," sambung Putra melihatkan hasil potretnya padaku. Aku diam melihat foto itu dan mengamati raut wajahnya, karena posisi foto perempuan yang dipotret itu diambil dari samping, kucoba mengamatinya lebih dalam, dan tepat sekali aku mengenali perempuan itu.

"Loh, ini teman kampus aku Put, Nita namanya," kataku sedikit histeris, tidak tahu kenapa.

"Biasa saja kali, aku dapat nomor hapenya, hahaha, nih," kata Putra menunjukan nomor telepon Nita.

Seketika wajahku pun memerah, ada rasa dimana tidak aku mengerti, apa aku jatuh cinta? Bukan! Aku bukan jatuh cinta, tapi aku cemburu.

"Kamu suka sama dia?" tanyaku lirih.

"Sepertinya... hahaha, dia mau enggak ya sama aku?" jawabnya tanpa melihatku.

"Tunggu dulu! Masak iya kamu tadi sore ketemu dia? Dia sama siapa? Sendiri gitu?" tanyaku.

"Iya... tadi dia sendiri, dicafe dekat hotel depan pantai itu," jawab Putra membuatku bingung. Seingatku Nita sepulang dari kampus dijemput seseorang, kenapa Putra bisa berbicara kalau Nita sedang seorang diri, disebuah cafe ditepian pantai.

"Kamu yakin dia sendiri?" tanyaku meyakinkan jawabannya.

"Yakinlah," jawabnya penuh semangat.

"Aneh," kataku lirih.

"Kenapa?" kata Putra.

"Oh, enggak," jawabku tetap dengan keadaan bingung, siapa Nita ini? "eh Put, keluar yok cari angin," lanjutku.

Tidak lama dari percakapan kami berdua, kami beranjak dari kamarku menuju keluar, sekedar mencari suasana damai, melupakan beban yang menumpuk tentang segala hal dibenakku. Sebentar saja, beban – beban itu pun perlahan beranjak pergi, dan hanya satu yang tetap berlalu – lalang diotakku, Nita.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 07, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Alegori StigmaWhere stories live. Discover now