BCC 6. CALON BESAN

3.9K 255 4
                                    

Jangan mengeluh saat orang tua mengiginkan pernikahan anaknya, kelak kamu akan merasakan kekhawatiran bagaimana memiliki anak yang sudah matang dalam segala hal, namun belum kunjung ada tanda-tana bertemu jodohnya

Calon Besan.

Bukankah itu artinya? Tanpa perlu diperjelas Kimora sekarang mengerti. Jadi saat ini dia sedang bertamu di rumah laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Lebih jelasnya saat ini dia sedang berada di rumah Anggara. Parahnya lagi, Kimora merasa dibohongi oleh perempuan-perempuan yang selama hidupnya dia kagumi. Baik mami ataupun bibinya telah berdusta padanya.

"Besok saja lah Mi... Bi.... jalan-jalannya. Kimora lelah. Hari ini pengen istirahat."

"Besok diskonnya ya sudah habis." maminya memasang wajah nelangsa.

"Semisal besok enggak diskon, Kimora pasti belikan apapun yang Mami dan Bibi mau," janjinya seraya membentuk kata peace tanpa berucap dengan jarinya.

"Sekarang saja. Bibi dan Mami kamu sudah terlanjur janji shopping bareng teman sosialita," bibinya ikutan merengek.

Kimora hanya bisa memutar bola matanya dengan perasaan yang jengah. Mereka, mami dan bibinya sama saja. Sama-sama sukam shopping dan menghabiskan uang receh. Tidak heran bila Kimora setiap saat mendengar para suami-suaminya menggeluhkan hal itu. Iya, tidak jarang papa dan Om Anton memintannya untuk menginsafkan kebiasaan mama dan bibinya kalau sudah bersama teman-teman sosialitanya.

"Sekarang saja ya?" maminya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Jurus andalan untuk meluluh lantakan pertahanan putrinya yang kepala batu.

"Kimora antar... kalau nanti Kimora capek, Kimora di mobil saja loh ya..." Kimora membuat kesepakatan. Percuma juga menahan hasrat belanja mereka. Toh pada ujung-ujungnya Kimora juga pasti akan dipaksa dengan cara apapun. Yang pasti jurusan andalan mereka adalah sebuah dosa kalau seorang anak tidak bisa menyenangkan orang tuanya.

"Iya..." maminya membelai kepala putrinya dengan binar kebahagiaan. "Mami sama Bibi siap-siap dulu."

"Kimora," panggil maminya. Mami Irena pikir putrinya itu ada di belakangnya. "Kimora," kali ini suara maminya dalam mode teriak. Kimora sudah tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

"Oh..." gagapnya mengerjap kebingungan. "Ma... maaf..." setelah berhasil mengembalikan nyawanya, Kimora menghampiri maminya. Keterkejutan yang luar biasa.

"Ayo salam dulu," tegur sang mami seraya menghela lengan Kimora menuju perempuan cantik yang mengultimatumkan dirinya sebagai calon besan perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia.

Kimora menyalami perempuan cantik itu. Kimora juga mencium punggung tangannya, sebuah kebiasaan baik yang selalu diajarkan orang tuanya untuk memperlihatkan sopan santunnya kepada teman-teman Mamanya. "Kimora, Tante..." ujarnya kemudian untuk memperkenalkan diri. Yah meski Kimora tahu, perempuan yang bernama Zahra yang mengaku calon besan mamanya itu pasti sudah sangat tahu namanya. Bahkan Kimora juga yakin, bukan hanya namanya saja, cerita-cerita kehidupannya yang lain pasti juga tahu. Tidak mungkin bibinya tidak menceritakan.

Si pemilik rumah merangkul Kimora dengan senyuman yang tidak pudar.

"Mama... perempuan tua ini sudah tidak pantas dipanggil tante, nak," protesnya.

"Tuh sudah dapat lampu ijo manggil mama..." goda Bibi Najwa yang dirasa Kimora tidak pada waktunya.

Ah bibinya ini. Tidak tahukah kalo batin keponakannya sedang jungkir balik tidak karuan. Pertemuan tanpa persiapan saja sudah membuat hatinya kalang kabut. Apalagi ditambah godaan seperti itu.

"Sudah jangan digoda. Nanti si cantik tidak mau menjadi menantu ku, Naj." Si ibu malah menimpali dengan pernyataan yang errr..., "Ayo masuk," pemilik rumah mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam. "Kita lanjutkan obrolan serunya di dalam saja," seraya menggiring tamunya, si pemilik rumah juga menghela Kimora yang masih dalam pelukannya.

Sepulang dari bertamu, tolong nanti ingatkan Kimora untuk memeriksakan paru-parunya. Sepertinya dia mendadak terkena sesak nafas. Meski berada di ruangan yang besar dan ber-ac, nafasnya tidak teratur. Nafas pendek-pendek. Beberapa kali Kimora terlihat mangambil nafas berat untuk melancarkan pernafasannya.

Kimora memilih untuk diam. Dia juga tidak banyak bergerak. Hanya akan menjawab kalo dia ditanya Tante Zahra, ibu dari Anggara. Bukan jawaban yang panjang dan lebar. Dia menjawab benar-benar dengan jawaban yang sangat singkat.

Sesekali Kimora melirik curi-curi pandang ke foto keluarga yang tergantung menghiasi dinding rumah tatkala tiga perempuan-perempuan yang matang itu bercanda. Dari deretan foto itu, ada foto Anggara saat masih menjadi mahasiswa STAN. Sederetan foto ketika Anggara bersama teman-temannya saat smapta.

"Itu Anggara, putra sulung Mama," Zahra menginterupsi.

"Ha..." tanpa di minta, bibir Kimora sudah lebih menganga. Ketahuankah acara curi-curi pandangnya?

Ya Tuhan... Kimora ingin lari. Kelakuan yang memalukan.

"Ma... maaf... Ma..." buru-buru dia menunduk untuk menutupi ketidaksopanannya.

"Mama senang kalau kamu juga menaruh rasa penasaran sama sulung Mama. Itu artinya kamu ada sedikit ketertarikan dengan Anggara, iya kan Ren... Naj..." ujar Zahra mencari sekutu.

Mama dan Bibi Najwa mengangguk bersamaan. Sekutu baru memang pada dasarnya sudah terbentuk. Dan kini Kimora merasa seperti komunis yang tertangkap basah dan siap di kuliti oleh mereka. Karena apa yang dikatakan Zahra benar. "Mama sangat berharap, kalian menemukan kecocokan. Mama sudah terlalu lelah mencarikan Anggara calon istri."

"Sama. Mami kamu ini juga lelah memaksa kamu untuk segera mengakhiri masa lajang," Maminya pun juga menimpali perkataan Zahra.

Seperti terdakwa yang bersalah. Kimora di sidang oleh tiga hakim. Dengan kasus dan tuntutan pernikahan.

"Kami sangat berharap kamu dan Anggara berjodoh."

Kimora masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kalau dia mengiyakan, belum tentu bisa mewujudkan harapan mereka.

"Sebentar Mama panggilkan Anggara, biar kalian bisa saling mengenal." Dengan kepergian Zahra, Kimora mengangkat wajahnya.

Jadi? Anggara sekarang di rumah? Bukannya Bibi Najwa bilang mereka akan bertemu tiga bulan lagi? Sembilan puluh hari di hitung dari sekarang dan itu bertepatan lebaran? Lagi, mereka membohongi Kimora.

*****

K I M O R A √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang