BCC 2. SEBUAH NAMA Bag 1

5.9K 286 5
                                    

Hati. Tempat di mana Tuhan memberikan firasat untuk umatnya

Dert... dert...

Getaran handphone berhasil mengganggu tidur Kimora. Dengan mata berat, Kimora memperhatikan layar kotaknya itu.

Bibi Najwa, nama yang tertera. Hal pertama yang dia lakukan bukannya langsung menjawab, membiarkan beberapa deringan. Kimora perlu menetralkan keadaannya terutama suara katak yang biasa dia dapatkan setelah menangis. Tanpa perlu kejujurannya, bibinya pasti akan bisa menebak dengan mudah. Dan Kimora membencinya. Karena setelahnya bibinya akan ceramah panjang bermil-mil dengan topik yang masih sama "Ikhlaskan Andika". Bibinya juga akan menghubungi maminya. Sudah pasti perjodohan dengan laki-laki rekomendasi abangnya Abidzar menjadi topik kedua. Mereka beranggapan, dengan perjodohan, Kimora bisa segera melupakan Andika. Kimora kembali mendapatkan kebahagiaannya.

"Assalamualaikum... Bi..." sapa Kimora dengan usaha keras untuk menutupi suara seraknya.

"Kamu sakit sayang?" khawatir Bibi Najwa mengabaikan salam Kimora. Telinganya teliti. Bibinya tidak bisa dibohongi. Keponakannya itu sedang tidak dalam kondisi yang baik.

"Menjawab salam itu wajib, Bi," tegurnya halus.

"Waalikumsalam. Kamu sakit, nak?" Sang Bibi menuruti teguran keponakannya dan kembali menanyakan kondisi Kimora.

"Sedikit meriang. Sepertinya akan terkena flu. Tadi pulang kehujanan." tidak semua katanya bohong. Sepulang kerja Kimora memang kehujanan. "Tumben Bibi telephone Kimo?"

Uhuk... uhuuk...

Batuknya ini baru kebohongan. Semoga bibinya percaya. Meski dia tidak pandai untuk berbohong.

"Sudah minum obat? Jangan malas ke dokter untuk chek up!" judes Bibi Najwa dengan perhatian yang berlebihan . Sifat yang tidak akan pernah bisa hilang. Ratu judes, julukan bibinya di keluarga papinya.

"Kimo sudah minum obat. Bibi sekarang bisa lega." lagi-lagi dia harus berbohong.

Benar kata pepatah, sekalinya kamu berbohong, selanjutnya akan tetap berbohong.

Ya Allah... ampuni Kimora...

"Dasar bocah nakal. Bibi tidak mau dengar kamu sakit, nak. Siapa yang akan merumat kamu di Surabaya kalo kamu sakit? Bibi dan Paman kamu sedang tidak ada perjalanan ke Surabaya akhir-akhir ini."

"Iya... Bibi... maaf... Tumben Bibi telephone jam segini?" Kimora merasa heran. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Biasanya jam segini kebiasaan maminya yang membangunkan dan mengingatkan untuk bertahajud.

"Kamu sudah sholat lail?"

Dia menggeleng. Jelas bibinya tidak akan bisa melihat.

"Kimo lagi dispensasi. Bibi belum jawab pertanyaan Kimora."

"Apa?"

"Tumben Bibi telephone jam segini?" Kimora mengulangi pertanyaannya. Perasaan curiga dia tebas. Meski Kimora tidak bisa begitu saja percaya. Ada sesuatu hal penting bila bibinya sampai menelephonnenya tengah malam.

"Apa Bibi nggak boleh kangen kamu?"

Mendengar rajukannya, Kimora terkekeh geli. Dia semakin yakin bibinya menyembunyikan sesuatu. Semoga yang disembunyikan baik. Hatinya berharap.

"Bibi bicara sejujurnya saja," pancing Kimora. Dia terlalu mengenal Bibinya.

"Kamu nggak suka ditelephone Bibi?" tuduh bibi memojokan maksud Kimora. Bibinya akan sensi melebihi maminya bila ada orang yang bisa menebak rahasianya. Dan sepertinya bibi juga mengetahui kalo Kimora tengah memancingnya.

K I M O R A √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang