Bab 24

23.1K 1.8K 38
                                    

Happy reading

Adult Content 21+

EBook completed, find at googleplay/playstore

EBook completed, find at googleplay/playstore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Karyakarsa:

Di Karyakarsa:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy

Luv,

Carmen

_____________________________________________________________________________

Napas wanita itu bertambah berat ketika Liam mulai menyelipkan jemarinya di antara paha Amara.

"Sshh... Amara." Ia mengangkat wajah dari dada wanita itu dan menatap Amara sementara jari-jemarinya membelai lembut. "Relax and it's gonna be all right."

Liam bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam diri Amara perlahan mereda dan ia menyapukan jemarinya pada permukaan vulva yang lembut itu. Mata mereka terkunci saat Liam menggunakan ibu jari dan telunjuknya untuk membuka lipatan bibir Amara dan membalur jari-jemarinya dengan cairan wanita itu. Amara mengerang pelan lalu memutuskan kontak mata. Dia lalu menoleh ke samping, dengan sengaja berusaha menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya.

Liam tidak akan membiarkan Amara menghindarinya seperti ini. Ia akan menabrak dinding pertahanan Amara sehingga wanita itu akan mengakui dengan mulutnya sendiri bahwa dia menginginkan Liam – sebagai seorang pria, sebagai seorang kekasih, sebagai seorang suami.

Persetan! Ia tidak peduli bila ia terkesan posesif. Pemikiran seperti itu jelas menyemangatinya. Liam kembali menunduk untuk menjilat puting Amara sekali lagi, lalu mengulum yang lainnya sebelum bergerak untuk melepaskan sisa pakaiannya. Kini, mereka polos tanpa sehelai benangpun melekat di tubuh keduanya. Liam kembali mendekati Amara yang masih terbaring di sofa, tubuh mereka kini saling menempel dan menekan, kulit bertemu kulit, panas yang saling membakar.

Liam bisa merasakan denyut wanita itu - perutnya yang naik turun dengan cepat seiring napasnya - ketika kepala Liam bergerak turun untuk mendekat pada bagian di antara kedua kaki wanita itu.

"Apa... apa yang kau lakukan?"

"Kau menyukainya, bukan?"

Liam tidak menunggu jawaban Amara. Ia tidak memerlukannya. Ia menjulurkan lidah dan ujungnya mulai menyentuh paha dalam wanita itu, membelai dan menjilat perlahan

"Kau akan terasa sangat nikmat, Amara..." ia berbisik rendah, menghembuskan napasnya di antara kedua paha yang terbuka itu.

Wajah Liam sudah berada di kewanitaan Amara, mengisap dan menjilat rakus tanpa aba-aba. Tangan-tangan Liam yang kuat menyelinap ke bawah tubuh wanita itu, menangkup bokongnya dan membawanya lebih dekat ke mulut.

Tidak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk merespon, bagaimana bibir-bibir yang tadi merapat kini membengkak merah, terbuka seperti mawar indah yang baru merekah. Cairan yang panas dan manis mengalir keluar dari celah tersebut.

Siapa yang mampu menahan rangsangan seperti itu? Amara jelas tidak bisa. Tubuhnya yang responsif mengirimkan sinyal ke otaknya.

Liam menahan diri dengan mengangkat kepala dan menjauhkan tubuhnya. Ia melirik ke wajah Amara yang memerah, pada bibirnya yang masih menyisakan desah.

Amara menginginkannya.

Wanita itu tidak perlu mengatakannya, mata Amara berbicara dengan jelas. Jadi, ia bangkit berdiri dan membungkuk untuk mengangkat Amara dari sofa.

Gelagapan, wanita itu melingkarkan lengan-lengannya ke tengkuk Liam dan bertanya dengan suara bergetar pelan. "Apa yang kau lakukan?"

"I want to fuck you down there." Liam mendengus kasar sambil menurunkan wanita itu ke atas karpet bulu cokelat yang tebal dan lembut.

Liam menyusulnya dengan cepat, menindih Amara dan menggesekkan tubuhnya dengan kasar. Ia nyaris meledak, ereksinya terasa panas dan sekeras batu ketika lutut-lututnya memisahkan kaki-kaki Amara. Mulutnya sejajar dengan puting Amara yang menegang dan Liam menyambarnya cepat sementara jemarinya turun untuk menggantikan lidahnya, mengisi Amara dalam satu dorongan lancar dan membuat wanita itu menggelinjang, bergerak gelisah, menyiratkan keinginan yang lebih dari sekadar jari yang sedang menari di kedalaman tubuhnya.

"Not enough, Amara?" Liam mengangkat wajah dan mendesis parau ke arah Amara.

Wanita itu berhenti sebentar untuk menatap Liam, ia menggigit bibirnya rapat sebelum membuang wajah. Sedetik kemudian, tubuhnya mulai mengikuti irama jari Liam.

Wanita keras kepala itu... ketika tubuhnya sudah menyerah, Amara masih berpikir bahwa selama dia tidak mengatakannya, maka dia bisa menolak untuk mengakui bahwa dia sudah kalah.

"Don't worry," bisik Liam. "I'll be inside you very soon."

Dan Liam tidak membuang waktu. Merealisasikan kata-katanya dengan tindakan, mengisi Amara dalam-dalam dan mencuri kembali kesadaran wanita itu. Tapi ketika segalanya selesai, Amara seperti biasa, menolak kedekatan mereka lebih dari yang seharusnya.

Setelah meminta Liam berguling menjauh, Amara tidak membuang waktu untuk bangun dan menyambar pakaian kantornya yang masih bertebaran.

"Buat apa terburu-buru?"

Amara menoleh sekilas dan kembali mengumpulkan pakaiannya, melemparkan pakaian Liam ke arahnya ketika benda itu menghalangi jalannya.

Liam menangkap kemejanya dengan cepat dan menyingkirkannya ke tepi, lebih suka menatap pemandangan tubuh Amara yang masih belum tertutup sempurna.

"Kau tidak ingin berbaring bersamaku sejenak?" tawarnya lagi.

"Tidak, terima kasih. Itu tidak ada dalam perjanjian kita."

"Oh ya, tentu saja," ucap Liam santai. "Aku tidak keberatan, Amara. Aku akan membuahimu kapan saja kau menginginkannya."

Amara memilih untuk tidak berkomentar ketika dia bergerak menjauhi Liam. Liam pun kembali menambahkan cepat, "Kususul nanti. Aku hanya butuh beberapa menit untuk pulih."

Langkah wanita itu terhenti dan Amara menolehkan wajah untuk menatapnya tajam. Suara wanita itu terkesan tegas – namun, Amara tidak bisa menipu Liam. Wanita itu jelas-jelas merasa jengah. "Tidak malam ini. Apa kau tidak lihat? I can't barely walk!"

Ya, ia bisa melihatnya. Liam terkekeh ketika Amara kembali berjalan cepat menjauhinya, dalam langkah-langkah yang tidak biasa, seolah wanita itu sedang menahan rasa tidak nyaman di tengah tubuhnya.

I did that, batinnya bangga.

Sial! Tapi, tetap saja Liam merasa bangga.

Hanya saja, Amara masih sedingin itu terhadapnya. What an interesting woman.

But sooner or later, things will change.

______________________________________________

Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang