10 - Sebuah Keputusan

6.5K 507 50
                                    

Haruskah aku diam selamanya?

---

Aku benar-benar tidak tidur tadi malam. Pemandangan Mama bergelayut di lengan Ruwanta, juga ketika mereka berdampingan di meja makan, menghantuiku tanpa jeda. Kupaksa otakku berpikir hingga titik yang belum pernah dicapainya selama ini. Membuat kepala pening serta napas tak beraturan. Aku belum pernah merasa setersiksa ini.

Ruwanta yang harus bertanggung jawab atas kehamilanku sudah tampak di depan mata. Aku bisa saja langsung menggaet dan tak akan melepasnya lagi. Namun, kenapa ia harus muncul sebagai pacar Mama? Aku takut Mama akan semakin hancur setelah mengetahui hal sebenarnya. Namun, aku tidak yakin bisa cukup tangguh untuk menyembunyikannya lebih lama.

Pagi ini, sebelum sinar matahari sempurna menyapu embun, aku sudah membuat sebuah keputusan. Perihal keseriusan Ruwanta, entah apa pun alasannya mendekati Mama, bagiku terlalu drama. Aku yakin, kabar yang berembus benar; ia hanya mengincar harta Mama. Betapa bodoh jika aku membiarkannya. Aku akan menjelaskan kepada Mama. Semuanya. Aku harus mendapatkan pertanggungjawaban dari ayah biologis penghuni rahimku.

Aku keluar kamar, masih dengan pakaian yang sama tadi malam. Mataku perih, tapi sama sekali tidak mengantuk. Aku menuruni tangga dengan cepat. Langsung mencari Mama ke setiap ruangan. Langkah tegesa-gesa tadi terhenti setelah menemukan Mama di ruang makan. Mama yang ditemani Bibi tengah sibuk menyiapkan sarapan. Pemandangan itu membuatku tercengang. Aku mengira akan menemukan Mama terkapar di kamar, tidur bersama botol-botol kosong minuman keras. Tapi nyatanya, aku seolah menemukan sekeping memori usang yang dipaksa terputar ulang. Sosok anggun, senyum tulus itu ... kembali.

"Sayang, kok, mukanya berantakan gitu? Belum cuci muka, ya?" tanya Mama seraya merapikan posisi beberapa piring di hadapannya.

Suara barusan benar-benar hangat seperti dulu.

"Tadi malam ngapain? Kok, langsung tidur nggak ganti baju dulu?"

Aku mematung, masih belum yakin dengan pemandangan yang ada.

"Kok, malah bengong? Ayo sini, sarapan dulu."

Kali ini Mama yang mendekat setelah melihatku tak bergeser sedikit pun. Ia langsung meraih kedua tanganku, menggenggamnya. Ada kehangatan yang mengalun perlahan di sana. Membasahi kuncup, memekarkan sejumput kenangan di masa kecil, ketika Mama masih sering membacakan dongeng pengantar tidur. Aku benar-benar merasa kembali ke sana. terlebih ketika salah satu tangannya membelai pipiku kemudian. Genangan bening perlahan mengaburkan pandangan.

"Mama minta maaf, Sayang, atas semua waktu yang terbuang selama ini. Mulai hari ini, kita akan menemukannya lagi. Mari sepakat melupakan kejadian kemarin. Masa berkabung, masa menjahit luka telah berlalu. Mama telah sembuh dan berhasil lebih kuat." Suara Mama bergetar. Aku tak bisa membaca mimik wajahnya. Kepiluan masih terpancar di sana.

Tak satu pun kata mampu terucap. Dadaku belum cukup lapang untuk memaafkan dan melupakan semua kegilaan Mama selama ini. Namun, genangan tadi luruh saat Mama menarikku ke dalam dekapannya. Sangat erat. Hangat. Belaian tangannya menjamah setiap helai rambutku.

"Tolong, beri Mama kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kembali menjadi ibu seutuhnya buat kamu." Mama memperdengarkan kesungguhan. Air mataku menderas.

Mama membawaku ke meja makan. Kemudian menarik kursi dan mempersilakan duduk. Ia menuang susu hangat untukku, juga meletakkan sepotong roti bakar yang sudah dilumuri selai kacang di atas piring kecil di hadapanku. Suasana seperti ini ... sudah lama tidak terjadi. Lamat-lamat kudengar isak tangis Bibi yang berusaha ia sembunyikan dengan pura-pura sibuk mengerjakan hal yang tidak terlalu penting. Sepertinya Bibi terharu, ikut bahagia.

Benih TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang