Tujuh Belas

48.5K 9K 701
                                    

Maafkeun untuk typo dan kalimat nggak efektifnya, Gaess. Baru kelar ditulis nih. Lagi mode malas ngedit (hehehe... kapan rajinnya, ya?). Perasaan tiap hari berantakan. oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss

**

Aku duduk di depan iMac, tetapi pikiranku mengembara ke mana-mana. Potongan-potongan percakapan antara Atharwa-Pretty dan Atharwa-Remmy mulai membentuk gambaran yang jelas. Jadi Atharwa itu adalah anak Pak Wisesa.

Aku bukan orang yang punya tingkat rasa penasaran tinggi, jadi lebih suka fokus dengan pekerjaanku sendiri daripada mencari tahu silsilah keluarga pemilik perusahaan tempatku bekerja, Lagi pula, aku tidak bekerja di kantor "atas" sehingga tidak berhubungan langsung dengan mereka. Tidak penting juga untuk tahu. Bonus tahunan tidak lantas membengkak karena aku bisa menggambarkan pohon generasi pemilik perusahaan dengan benar.

Hanya saja, ada plot hole yang tertinggal. Mengapa Atharwa harus bekerja di anak perusahaan, tidak langsung di kantor "atas" saja seperti Pak Agrata? Dia juga bisa memulai karir dari "bawah" di kantor "atas" kalau harus memakai alasan penjejangan karir untuk mempersiapkan diri sebelum menjadi petinggi. Setahuku, Pak Agrata juga memulai karir dari "bawah" di kantor pusat sebelum menjadi direktur keuangan seperti sekarang.

Aku tersentak saat Jingga menendang kursiku. Kepalanya bergerak-gerak aneh dan matanya mendelik seperti memberi tanda. Gayanya jadi mirip ayam meregang nyawa yang baru disembelih.

"Lo sakit?" tanyaku sambil melepas earphone. Aku sengaja memakainya untuk menghindari percakapan dengan Jingga. Dia biasanya tidak menggangguku kalau melihatku menyumbat telinga.

Jingga tidak menjawab, tetapi gerakannya tidak berhenti. Perlu beberapa saat untuk membuatku mengerti tanda yang dibuatnya. Aku segera menoleh ke sebelah kanan dan melihat Atharwa berdiri di dekat kursiku. Aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya. Volume musik yang kuputar memang lumayan besar.

"Sudah waktunya makan siang," kata Atharwa tanpa basa basi. "Yuk, turun sekarang."

Dia mengajakku? Kapan kami janjian? "Saya masih ada pekerjaan, Pak." Aku tidak akan pergi makan dengan dia. Bukan berarti karena Atharwa sudah minta maaf kemarin maka sakit hati yang kurasakan selama bertahun-tahun lantas hilang. Bahkan butuh usaha untuk menghilangkan karat pada benda logam, apalagi hati. Noda yang dia tinggalkan di hatiku telanjur menebal. Menerima penjelasannya adalah satu hal, dan melupakan adalah hal lain yang tidak ada hubungannya. Aku bukan santa yang bisa langsung memeluk orang yang menyakitinya setelah orang itu menyampaikan penyesalan. Aku hanya manusia biasa yang terkadang dikendalikan emosi negatif, walaupun itu mungkin tidak tergambar di ekspresiku.

Jingga kembali menendang kursiku. "Kerjaan lo bukan anak ayam. Nggak akan kabur kalau ditinggalin. Tuh, Pak Atharwa bela-belain ngajakin kita makan. Orang nggak boleh menolak rezeki, Kar. Dosa."

" Saya mengajak Kara."

"Kara dan saya itu satu paket, Pak. Sudah tugas saya untuk menghabiskan makanan Kara yang nggak bisa tertampung di lambung dia lagi. Terima kasih sudah diajak ya, Pak. Jadi terharu, beneran nggak nyangka. Rezeki anak saleh ini mah."

Aku melihat dahi Atharwa berkerut menyaksikan antusiasme Jingga. "Eh, tapi...."

Jingga menarik tanganku kuat-kuat sehingga aku terlonjak dari kursi. "Tadi Kara bilang pengin makan galbi, Pak."

Aku mendelik. Kapan aku bilang mau makan galbi? Bukannya Jingga sendiri yang mengkhayalkan galbi saat menyapu bersih roti yang kuletakkan di atas mejaku saat sarapan tadi? Lagi pula, aku tidak bermaksud turun untuk makan. Aku berencana untuk delivery order saja. Restoran di gedung ini ada yang menyediakan jasa pengantaran.

Love,  lost,  And,  Found (Cinta Itu....) - TERBITWhere stories live. Discover now