2. Voucher Water Park yang Gagal

45 4 0
                                    


Senin pagi yang ceria di tengah-tengah libur semester adalah hari-hari santai untuk -

"Ros, jam setengah sebelas kamu jemput Gavin. Titip mie ayam solo di depan rumah sakit ya, mintain sayurnya yang banyak," ujar Ibu sambil berjalan melintasiku hendak ke kamarnya.

"Loh, kok aku yang jemput Gavin?" tanyaku tak terima.

"Iya lah. Emang siapa lagi yang mau jemput, Ros. Ayah kan pulang sore," jawab Ibu santai dan berhenti di ambang pintu kamar, mengintipku yang duduk terpaku di depan televisi.

"Loh, Ibu?"

"Hmm," Ibu berdecak sambil mengacak pinggang. "Ibu kan baru pulang dari rumah sakit, Ros, mana boleh jalan-jalan jauh dulu." Kemudian Ibu melangkah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Terus Ibu mau ngapain?"

"TIDUR!" jawab Ibu teriak dari balik pintu kamar yang ditutup, meninggalkanku terdiam menggigiti ujung-ujung kukuku yang kuwarnai merah dengan kutek.

Kulirik jam dinding, pukul sepuluh lebih sepuluh. Hmm. Kusandarkan punggungku kembali ke sofa. Seminggu yang lalu, Ibu harus menginap di rumah sakit karena hipertensinya kambuh. Tiga hari sebelumnya, Ibu makan daging kambing dari hajatan tetangga kampung sebelah. Jadilah, tekanan darahnya naik. Disamping itu, emang kebiasaan Ibu yang selalu marah-marah. Nggak hanya bikin hipertensinya kambuh, juga bikin pengeng kuping orang-orang rumah.

Pukul setengah sebelas, aku berangkat dengan motor matic kesayangan Ibu melaju ke sekolah Gavin. Paling males kalau disuruh jemput Gavin, anaknya adiknya ayah yang masih berumur 6 tahun. Bukan karena Gavin nakal, Tapi karena Gavin terlalu pendiam. Kesel kan sama anak kecil yang pendiam banget.

Kupasang standard pada motor matic Ibu. Pintu kelas Gavin masih tertutup. Belum ada tanda-tanda kelas akan dibubarkan. Aku duduk menunggu kepulangan Gavin di halaman parkir di atas motor. Tiba-tiba datang segerombol anak-anak kecil berseragam olah raga. Aku tahu, itu kelas dua, bukan kelasnya Gavin. Gavin masih kelas satu. Anak-anak kecil itu berbaris melintasi kelas-kelas di pinggir halaman parkir. Tangan mereka saling berpegangan pada pundak milik teman di depannya. Dan mereka dengan aura secerah matahari pukul dua belas berteriak, "SESOK PREI! SESOK PREI!" Keren. Keren. Aku bertepuk tangan. Mommy-mommy sosialita yang sebelumnya asik menggosip ria dibuat terpukau oleh adegan itu. Aku yakin dalam diam mereka mengawasi apakah anak mereka menjadi salah satu prajurit dalam pasukan tempur itu.

"Kids," aku terkekeh dalam hati.

Tak lama setelah itu, Gavin pun melenggang menuju parkiran menemuiku. Gavin hanyalah anak enam tahun yang lugu yang sebenernya lucu. Ia menjinjing kotak makan siangnya dan tersenyum kearahku. He looks friendly... oh, and cute. Tapi.

"Uang jajannya tinggal berapa, Vin?" tanyaku. Bukan apa-apa. Minggu lalu sisa uang jajan Gavin hilang di sekolah, makanya hari ini aku hanya ingin memastikan.

Gavin tidak memberikan jawaban. Ia hanya senyum tersipu dan mengalihkan pandangan. Omaigad, I told ya, Gavin itu anak yang pendiam. Then, aku merogoh saku di celana seragamnya, ada dua lembar uang dua ribuan. See. Akhirnya aku menyuruhnya naik di atas motor. Namun, ia masih tidak bergeming. Ia masih berdiri di sana dengan wajah yang tidak mengekspresikan apa-apa. Ya. Aku pun mengangkat badannya yang mungil dan memposisikannya berdiri di depanku. Kunyalakan motorku dan kutinggalkan tempat yang dipenuhi makhluk-makhluk kecil aneh itu.

Oh, dan tidak lupa. Mie ayam solo pesanan Ibu.

Saat tiba di rumah, langsung aku berlari menggapai ponselku yang terbaring malang di tepi kasur. Gavin? Masih jadi bocah laki-laki pendiam yang sibuk menonton Tayo di televisi rumahku ditemani Ibu. Setelah kuketuk layar ponselku, kabar gembira untuk seluruh penduduk Wakanda, ada notifikasi Line dari Ari. Ha!

Biji Bunga Matahari : *Photo*

"WOW!" Aku bersorak. Yeay, saudara-saudara, setelah sekian lama hanya date abal-abal makan malam duduk berdua di balik gerobak tahu tek Pak Mahmud, kini Ari bakal ngajak renang-renang cantik di Ciputra Waterpark. Haha.

Kapan?

Sent.

Langsung saja kubuka Instagram dan membuat karya di sana. Foto voucher Ciputra Waterpark yang dikirim Ari barusan langsung kubuat story Instagram. Jadikan ini viral! Bebarengan dengan story Instagram ku yang sukses kuunggah, muncul lagi notifikasi balasan dari Ari.

Biji Bunga Matahari : Apanya?

Aku merogoh hidung, mencari upil. Sambil kumengetik balasan untuk Ari.

Ya ke Waterpark. Kapan?

Sent.

Pikiranku sudah berlayar menyelami Ciputra Waterpark. Pasti kalau renang, Ari bakal pakai kolor doang kan. Dan pemandangan indah roti sobek milik Ari akan terpampang nyata di depan mataku yang masih belum cukup umur. Hush! Sebelum khayalan liarku membelah samudra, aku langsung menampar wajah.

"Siang bolong begini, masih aja ngelamun jorok, Ros!" ujar Ibu tiba-tiba melintas di hadapanku tanpa mengetuk kamar terlebih dahulu. Ibu mengambil sesuatu dari atas meja belajarku.

"Ngapain?" tanyaku.

Ibu langsung mengacungkan remote televisi yang di pegang erat di tangan kanannnya sambil tangan kiri menunjuknya. "Nih! Televisinya di depan, kok remotenya di sini."

"Lah, Gavin tadi uda nyalain TV pake apaan?" tanyaku heran.

"Pake telapak kaki Mogadorian," jawab Ibu asal langsung melengos keluar kamar. Dan tidak lama pun melanjutkan, "Kemarin malam ayah matiin TV pake tombol di TV nya langsung gara-gara cari remote gak nemu."

Tanpa menggubris jawaban Ibu, langsung kubuka balasan dari Ari lagi.

Biji Bunga Matahari : Minggu depan itu. Tapi aku gak ikut, Dot. Lembur.

Haa?!

Blueprint vs ThesisWhere stories live. Discover now