100/60

1.2K 207 39
                                    

Ini...

masih tensi Pitik [ tadi pagi ]

._.

Apa hubungannya judul sama chapter ini?

Nggak tahu kenapa, ya, mengingat betapa rendahnya itu— untungnya Pitik masih sadar dan masih bisa ngetik ff ini —artinya lemah.

. . .

[ Sebuah Fakta ]
Pitik udah nulis chapter ini sebelum publish chapter pertama yg 'DUTY first, then LOVE'

Happy Reading!

:")

.

.

.

"Maafkan aku."

Dua kata itu terus terngiang di benak Jihoon. Jujur, membuatnya frustasi sendiri.

Jihoon hanya bisa memandang rekan-rekannya sendiri nanar.

Tidak.

Ia tidak bisa mengatakan apapun. Ini memang tugasnya, pekerjaannya.

Sudah sepantasnya ia melakukan ini.

Jihoon tidak bisa menolak.

Suara derap kaki mulai terdengar lagi, semakin dekat dengan ruangan berisi sepuluh orang berseragam lengkap itu.

Ia beranjak dari kursinya, bertepatan dengan berhentinya langkah kaki mereka.

Dua orang dengan baret memberi hormat saat tiba di depan pintu. Salah seorang rekannya balas memberi hormat, mewakili sembilan orang lainnya.

Jihoon tahu waktunya tidak lama lagi. Rekan-rekannya sudah mengenakan penutup kepala untuk menyamarkan identitas. Ia yang terakhir mengambilnya.

Juga terakhir yang masuk ke dalam barisan.

Mereka berjalan teratur menuju sebuah destinasi yang menegangkan.

Sangat menegangkan bagi sosok berpakaian serba putih dengan tanda X tepat di dada sebelah kiri.

Ini hari terakhirnya.

Eksekusinya.

Dari balik penutup kepala, Jihoon bisa melihat betapa gemetarnya sosok itu, bagaimana kedua tangannya mengepal keras.

Ada 10 pistol yang tersedia di hadapan masing-masing orang, 10 orang yang secara resmi diberi tugas kenegaraan untuk membidik tanda X di sana.

Namun hanya satu yang akan menembus jantungnya. Hanya satu pistol yang bisa menembakkan peluru.

Satu dari sepuluh.

Jihoon hanya bisa berharap kalau itu bukan dirinya.

Ia tidak sanggup bila harus melihat sosok itu lenyap dengan tangannya sendiri.

Sudah 30 detik berlalu sejak mereka bersepuluh berjejer rapi di depan terpidana.

Jihoon berdiri di tempat keempat dari kiri. Tidak tepat di tengah, namun rasa gugupnya tetap sama.

1 menit tepat setelah mereka siap di tempat, peluru akan ditembakkan. Mereka menunggu sinyal dari petugas berbaret di sudut ruangan.

30 detik ini menjadi sebuah api penyucian bagi Jihoon. Sebuah situasi di mana ia tidak tahu harus berada di mana keberpihakan hatinya.

Apakah ia harus menerima dirinya sebagai eksekutor hukuman bagi penjahat negara?

Atau penghilang nyawa orang yang paling dicintainya?

[√] 1 out of 10 | SoonHoonWhere stories live. Discover now