03. Cerita Fani

Mulai dari awal
                                    

Tak berselang lama, sudah banyak kelinci yang datang untuk memperebutkan wortel. Kelinci berbagai warna itu langsung memakan wortel yang diberikan Fani.

Fani terkekeh geli, saat kelinci-kelinci itu berebut untuk mendapatkan wortel dalam keranjang.

Tiba-tiba, seekor induk kelinci putih datang dan membawa satu buah wortel ukuran kecil sedikit menjauh, dan memberikannya pada kelinci kecil putih lainnya. Namun, tidak berselang lama. Karna ada kelinci kecil berwarna coklat muda yang datang dan malah merebut wortel tersebut dan membawanya pergi menjauh.

Kelinci besar yang tadi berhasil mendapatkan wortel kembali berlari ke arah keranjang wortel untuk mengambil wortel lagi. Setelah mendapatkannya, kelinci besar tadi memberikannya pada kelinci kecil putih.

"Enak ya jadi kelinci kecil itu." Taelunjuk Fani mengarah ke kelinci kecil coklat muda.

"Enak kenapa, sayang?" Trisha yang sedari tadi memperhatikan, mengernyitkan dahinya heran.

"Iya, enak. Padahalkan kelinci besar tadi mau ngasih wortelnya buat kelinci kecil putih, tapi malah direbut sama kelinci kecil coklat. Tapi kelinci besar nggak marah ke kelinci kecil coklat itu, malahan kelinci besar ambil wortel yang baru. Kan enak jadi kelinci coklat dia gak perlu cape buat ngambil wortel dan nggak dimarahin atau dipukul." Trisha diam mendengarkan.

"Aku pernah kaya kelinci kecil coklat itu, Nek. Tapi, aku malah dihukum." Fani cemberut, mengembungkan pipi dan mengerucutkan bibirnya.

"Oh ya? Gimana ceritanya, coba ceritain ke Nenek." Sikap dan kata yang diucapkan oleh Trisha dibuat seantusias mungkin.

"Waktu itu, kan Papa Mama baru pulang dari minimarket sama Fina. Mama beli ice cream dua, yang satu Fina makan dan satunya lagi dimasukkan ke dalam kulkas. Aku minta ke Fina, tapi dia nggak mau ngasih. Ya udah, aku rebut aja ice cream-nya dia. Eh, Fina nangis. Aku disuruh balikin dan ambil di kulkas, tapi aku nggak mau balikin. Malahan ya Nek, aku lempar tuh ice cream-nya ke lantai. Mama sama Papa langsung marahin aku karna Fina nangisnya makin kenceng. Fina ngedorong aku sampai aku jatuh, aku balas ngedorong Fina pelan." Senyum dan wajah cemberut itu perlahan lenyap, menampilkan wajah muram.

Fani berjalan ke arah nenek, duduk di bangku yang tadi didudukinya. Menatap lurus ke depan dengan pikiran yang melayang-layang.

"Papa sama Mama makin marah sama aku, ngebentak-bentak aku. Papa pukulin aku pakai rotan sampai badan aku luka-luka. Sehabis mukulin aku, Papa tarik aku ke kamar mandi. Mandiin aku dan rasanya badan aku perih banget. Terus Papa ngunciin aku di kamar mandi. Padahal, aku udah nangis dan mohon-mohon sama Papa. Minta ampun, supaya Papa bukain pintunya."

"Tapi, Papa nggak mau dengarin aku. Sampai aku ketiduran di kamar mandi. Waktu aku bangun pagi, aku udah di tempat tidur. Pakai jaket sama kompresan. Kata Mama, aku demam. Habis itu, aku nggak berani lagi ambil punya Fina." Cairan bening yang mengalir di pipi chubby Fani bertambah banyak, bahkan isak tangisnya mulai terdengar.

Trisha tidak menyangka bahwa Fani diperlakukan begitu. Dengan sigap, Trisha berdiri di depan Fani, mendekapnya dengan erat. Tanpa sadar, air mata Trisha sudah menetes.

"Nek," isak tangis Fani masih terdengar.

"Iya, sayang. Kenapa?" tanya Trisha lembut, menahan laju air matanya agar tidak semakin menetes.

"Kenapa, sih Mama Papa suka banget ngebandingin aku sama Fina? Fina lebih ini, Fina lebih itu. Fina terus yang disayang. Aku nggak, nggak ada yang sayang sama aku, Nek." Fani menunduk dan bersuara dengan begitu lirih.

Trisha melepas dekapannya, bersimpuh dengan bertopang pada lutut di depan Fani. Menangkup wajah Fani dengan kedua tangannya.

"Papa, Mama, Kakek, Nenek, Tante Disa, Om Heru, Fina, teman-teman kamu, semuanya itu sayang sama kamu. Nggak ada yang nggak sayang." Sungguh hati Trisha merasa tercubit mendengar Fani berucap begitu.

Kami Sama Tapi Berbeda {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang