Fani terus menangis, merasakan sakit di punggung dan kakinya. Bahkan, Fani sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Dia jatuh, terduduk dengan bahu bergetar dan napas yang tersendat-sendat.

"Papa ...," suara Fani begitu parau dan tersendat, "sakit...."

Fani menatap mata papanya dengan pandangan sendu, sedih, kecewa, dan penyesalan. Namun, Rian hanya menatap Fani datar.

"Itu hukuman buat kamu karna udah ngebuat Fina nangis serta dahinya yang lebam. Sekarang, kamu Papa hukum nggak pergi kemana-kemana. Papa, Mama, Fina mau pergi ke Mall." Rian melempar rotannya ke sudut kamar anaknya.

"Papa, maaf." Rian mengacuhkan Fani, dia segera keluar kamar dan menguncinya.

"Papa ... maaf. Aku minta maaf, Pa." Fani menangis dengan pilu.

"Jangan tinggalin aku, Pa," suara tangis Fani sangat memilukan.

Fani sudah tidak sanggup berjalan hanya untuk sekedar menggedor pintu kamarnya. Punggungnya terasa sakit, perih dan panas. Bahkan, punggungnya sudah terlihat biru-biru. Yang dia lakukan hanya menangis.

Rian sampai di bawah dan menggendong Fina yang berada dalam pelukan sang istri. Mencoba menenangkan anak keduanya.

"Hei, udah dong nangisnya. Tadi katanya mau ke Mall. Ayo kita ke Mall. Tapi janji jangan nangis lagi." Fina menelusupkan kepalanya kecekukan leher Rian.

"Papa, sakit." Di tengah tangisnya, Fina berbicara.

"Mana yang sakit? Hem?" Rian memberi jarak pada pelukannya.

"Ini, Pa." Fina menunjuk dahinya.

Rian melihat dahi Fina yang sedikit membengkak dan berwarna merah kebiru-biruan.

"Udah diobatin sama Mama?" Rian melirik Dina.

"Udah." Fina menganggukkan kepalanya.

"Ya udah, nggak apa-apa. Nanti juga sembuh, sayang. Jangan nangis lagi." Rian mengusap mata dan pipi Fina.

"Ayo, kita pergi ke Mall." Rian tersenyum lembut.

"Tapi pa, Fani gimana?" Fina masi sesenggukan.

"Fani ada di kamar. Udah biarin aja."

"Papa, mau bareng Fani juga," Fina merengek. Di lubuk hatinya yang paling dalam dia mengkhawatirkan Fani.

"Biarin aja, itu hukuman buat dia karna udah buat kamu nangis," Rian berucap santai.

"Papa...." Mata Fina mulai berkaca-kaca.

"Oke. Kita ajak Fani. Ma, panggilin Fani. Ini kuncinya." Rian menyerah karna tak tega melihat Fina hampir menangis.

Dina langsung melesat ke arah kamar Fani, dan membuka pintunya.

"Sayang...," panggil Dina sedih melihat Fani meringkuk d lantai yang keras dan dingin itu.

Dapat Dina lihat bahu Fani bergetar hebat dan isakan tangis yang begitu memilukan. Hingga tanpa sadar, Dina meneteskan air matanya.

Mendengar suara Dina, Fani berdiri dari ringkukannya dan berlari menghampiri mamanya. Dia berhambur di pelukan Dina dengan tangis yang semakin kencang.

"Mama, maaf. Aku minta maaf, Ma," suara tangis Fani teredam pelukan Dina.

"Iya, sayang. Udah, nggak apa-apa. Kita keluar, yuk. Udah ditungguin sama Papa sama Fina. Jangan nangis, nanti kamu dimarahin Papa," Dina menghapus air mata Fani.

"Iya, Mama."

"Minta maaf sama Fina, ya. Jangan diulangi lagi, nanti kamu dipukul sama Papa lagi," Dina meneglus rambut Fani.

Kami Sama Tapi Berbeda {END}Where stories live. Discover now