Chapter 9 (Yoana's Side)

Start from the beginning
                                    

Di saat seperti inilah terkadang bayangan Papa dan pelajaran gitarnya membuat hati dan pikiranku tertawan di masa lalu.

***

"Yah, kayaknya rencana kita makan-makan di kafe baru yang di sebrang kampus batal deh. Aku harus belajar buat kuis besok pagi."

Kabar buruk dari dosen conversation merusak dua rencanaku sekaligus. Makan-makan bersama Retha dan menikmati renungan bersama lagu-lagu favoritku di rumah. Dengan adanya kuis pada matkul jam pertama besok sudah jelas takkan memberiku kesempatan untuk mendengarkan musik dengan rileks. Ada fotokopian percakapan yang baru diberikan tadi siang dan harus hapal dalam waktu kurang dari 24 jam.

"Bener juga ya. Ya udah kalo gitu aku duluan ya, Tha."

Kami berpisah di gerbang fakultas menuju arah yang berbeda. Nafasku menghela panjang, pasrah dengan mood jelek yang menguasaiku hari ini. Memulai hari tanpa musik, menghadapi hal menyebalkan, dan mengakhiri hari tanpa musik pula karena ada kuis.

Papa bilang, segala sesuatu takkan berpihak pada kita bila tak mengandung unsur ikhlas di dalamnya. Teori itu terbukti kebenarannya melalui kenyataan betapa sulitnya baris percakapan itu menempel dalam otakku. Mengeluh dan mengumpat pun sama sekali takkan memberi bantuan apapun.

Mungkin ini saatnya sang panglima perang tahu masalah ini.

"Hai kak, lagi ngapain nih?"

"Baru banget nyampe tempat bimbel, sekarang lagi nyantai aja di lobi. Kalau Yoana?"

"Lagi belajar nih, aku pusing banget besok pagi udah ada kuis percakapan," aku langsung mengarahkan pada tujuan utamaku mengirim chat di Facebook.

"Ya begitulah mahasiswa," ia membalas dengan cara yang biasa ia lakukan setiap aku menyuarakan kesulitanku. Kata-kata itu mengembalikan seberkas ingatan saat aku mengeluhkan setumpuk tugas ospek kampus kepada Kak Erik. Ia hanya mengungkapkan ketiga kata yang aku rasa seperti menyiratkan banyak hal di baliknya. Kak Erik dan tanggapannya itu telah berhasil mengungkapkan suatu bentuk empati atas kesulitanku. Lalu ia berhasil mengalihkan percakapan hingga semangatku terbentuk kembali.

Ternyata pada laman pesan muncul tanda elipsis yang bergerak-gerak, pertanda ia masih melanjutkan obrolannya. Kedua pupil mataku sama sekali tak beralih dari tanda elipsis itu.

"Makanya coba kamu minta pertolongan pada Allah. Terus minta didoain sama sama guru kamu juga biar kuisnya lancar. Kalo cuma bersandar pada kemampuan sendiri emang ngga gampang."

Tubuh lunglaiku di bangku belajar menjadi terperanjat ketika pesan itu masuk. Kini Kak Erik muncul dengan chat di luar kepribadiannya selama ini.

"Minta doa sama dosen aku??"

"Iya, sama dosen kamu yang ngasih kuis itu. Percaya ngga sih, Abu Hurairah aja bisa ngapalin ribuan hadits setelah didoain sama Rasulullah. Kamu yang cuma ngadepin satu kuis percakapan bahasa Inggris pasti lebih bisa kalo udah didoain."

Tanda elipsis muncul lagi. Aku memilih untuk mendiamkannya sejenak.

"Kamu harus tetep bersabar selama kamu ada di jalan Allah. Nyari ilmu itu jihad. Sabarnya kita dalam berjuang itu harus kayak sabarnya benda mati."

"Hah? Benda mati? Maksudnya gimana Kak?" Kak Erik semakin membuatku bingung dengan arah pembicaraannya.

"Contohnya pas Yoana lagi baca, terus tiba-tiba bosen, yang bosen Yoananya atau bukunya?"

"Aku dong yang bosen, masa bukunya hehe."

"Iya, itu maksud Kakak."

Aku hanya mengirim 3 buah tanda titik, pertanda tak tahu harus menjawab apa.

RenaissanceWhere stories live. Discover now