Chapter 2 (Yoana's Side)

16 7 1
                                    

Rasa penasaran yang diwakili oleh degup jantung yang bertempo cepat menjalariku hari ini. Kini aku berdiri dengan canggung di depan ruko tingkat dua bercat kuning. Aku mengintip sekilas melalui pintu kaca yang sedikit terbuka. Tempat bimbel itu kelihatannya begitu ramai, banyak orang seusiaku yang hilir mudik keluar masuk ruangan dengan beragam ekspresi.

Aku menyipitkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan pemandangan yang begitu ramai. Beberapa kali aku berusaha mengikis kebingunganku di dunia selain kamarku yang selalu temaram. Seperti seseorang yang mengalami jet-lag. Barulah terasa bahwa begitu lama aku tak mempedulikan dunia luar. Terakhir kali keluar hanya pada saat 2 minggu lalu, untuk menemani kerabat berziarah ke makam Papa.

Dengan terpaksa, aku memantapkan langkah, memberanikan diri masuk ke ruko. Ternyata di dalam jauh lebih ramai dibanding saat dilihat dari luar. Begitupun ruangannya, aku tak menyangka bahwa ruko ini memiliki ruang tengah yang luas. Tempat ini lebih terlihat seperti kafetaria ketimbang tempat belajar dengan bangku-bangku bundar yang letaknya tersebar.

Berdasarkan alur yang telah dipaparkan oleh contact person, aku harus mengonfirmasi kehadiran ke bagian front terlebih dulu sebelum memulai kelas untuk mengetahui waktu maupun tempat belajar. Di layar komputernya ternyata telah tertera tabel yang rumit, mencantumkan nama pengajar beserta jadwalnya.

Sistem pembelajaran yang diterapkan tempat bimbel ini bisa dibilang bebas. Murid bisa menentukan jadwal serta mata pelajaran yang ingin dipelajari sesuai keinginan. Biasanya murid harus memberi tahu kedua hal itu kepada contact person sehari sebelum kelas berlangsung. Jumlah pertemuan pun tidak dibatasi secara ketat.

Dari keleluasaan tersebut aku sudah memikirkan mata pelajaran apa saja yang ingin kuasah. Meski masih mengambang, aku memilih lingkup soshum, yang setidaknya sesuai dengan jurusanku saat SMA. Maka dari itu, aku akan menggunakan 2 dari 5 pertemuan bimbelku untuk memperdalam pelajaran IPS. Itu adalah jumlah pertemuan yang diambil berdasarkan pertimbangan aku dan Mama.

"Emang di sana biaya per pertemuannya berapa?"

"Ini Ma, liat aja di tabel ini," kutunjukkan saja laman Facebook di ponselku yang menampilkan poster promosi tempat bimbel itu. Mama menaruh kain perca yang sedang ia jahit di atas pangkuan, lalu mengerutkan kening menyesuaikan jarak pandangnya yang semakin mendekati plus.

"Lumayan murah sih, tiap pertemuan 2 jam 100.000. Kalo ngambil paket 5x pertemuan cuma bayar 400.000. Terus 10x pertemuan juga ada diskon 25%"

"Jadi mending ambil yang mana ya?" tanyaku setelah menyadari bahwa Mama lebih mempertimbangkan harga pertemuannya. Itu kumaklumi karena seringkali kami harus berhemat karena pemasukan Mama sebagai pengrajin aksesoris dari kain perca tidak terlalu besar.

"Mama sebenernya pengen kamu belajar sebanyak mungkin di sana," mata Mama yang dikelilingi oleh keriput yang samar-samar menatapku, "Tapi jujur aja, buat bulan ini Mama harus fokusin pemasukan ke bayar tagihan listrik sama air dulu, Na. Jadi ambil secukupnya aja."

Atas pertimbangan itulah aku memilih paket 5x pertemuan, meski itu masih jauh dari kata cukup. Tetapi dengan berat hati aku harus memahami prioritas keuangan pada bulan ini. Dan aku semakin menyadari bahwa sejak Papa meninggal, aku dan Mama semakin terbiasa mengatur prioritas itu.

Baiklah, pada bimbel hari pertama ini, aku akan mempelajari matematika terlebih dahulu. Pelajaran yang menjadi momok utama sejak masuk SMA setelah pelajaran ekonomi.

******

Selama dua hari pulang pergi bimbingan belajar, setidaknya aku sudah mendapat pencerahan untuk mata pelajaran matematika dan Bahasa Inggris. Para pengajar yang baik hati membuatku dapat memahami berbagai rumus matematika dan wacana Bahasa Inggris yang cukup rumit. Tak jarang aku sedikit berkonsultasi mengenai universitas dan tips belajar setelah jam pelajaran 90 menit itu selesai. Dan hari ini aku akan mempelajari soal bahasa Indonesia.

Angin sore menerpa kaus turtleneck merahku yang cukup tebal, namun tak terusik sama sekali, seperti halnya skinny jeans yang kukenakan. Kaki beralaskan flat shoes coklat tua ini akhirnya kembali berpijak di pelataran ruko kuning yang selalu ramai dan ceria seperti mentari di siang hari.

Namun entah kenapa kini langkahku terasa semakin berat untuk melangkah ke dalamnya. Bayangan mengenai Papa, cita-cita musik dan kegagalan yang menyertainya kembali bermunculan dalam otakku. Perlahan semangat maupun hasratku untuk belajar pun terkikis satu demi satu.
Dan aku pun teringat benakku lebih sering melukiskan kenangan saat belajar gitar bersama Papa, dibanding menghayati apa yang sedang disampaikan pengajar privat. Materi mengenai chord rasanya jauh lebih menarik daripada sosiologi atau matematika dasar. Dan menyentuh buku partitur lagu jauh lebih menenangkanku daripada menyentuh buku latihan soal ujian.

Ketika percakapan di antara para murid bimbel mengenai jurusan yang diimpikan semakin berseliweran, aku merasa seperti orang tolol yang bingung sendirian dan tak tahu tujuan. Percakapan mereka yang berbau optimisme itu semakin menusukku.

Ayolah Yoana, untuk apa kamu berniat kuliah kalau belum tahu akan memilih apa?

Setan penggoda kemalasan semakin menguasai diriku, membisikkan provokasi yang cukup menggoda. Menghasutku untuk menghentikan kegiatan bimbel yang membuang uang dan waktuku.

Mana bisa kamu belajar buat ujian masuk universitas kalo waktunya mepet gini, percuma ngga akan lulus.

Hasutan-hasutan itu memang tak bisa dipungkiri. Memang benar, bila dari awal aku ingin masuk universitas seharusnya aku sudah memulai segala persiapan dari awal masa liburku.

Kedua kakiku semakin enggan untuk bergerak. Dalam benakku tiba-tiba terbayang seluruh staf pengajar bimbel menertawakan sikap konyolku yang seolah menganggap remeh ujian masuk universitas. Kalau begitu caranya, apa sebaiknya kuhentikan saja kegiatan ini? Biarlah uang untuk sisa pertemuan yang tak terpenuhi itu menjadi sedikit sumbangan untuk tempat bimbel. Namun perlahan tergambar wajah Mama yang setiap hari menjahit aksesoris, demi membiayai keperluanku termasuk untuk masuk tempat ini.

"Hey, kenapa ngelamun di sini?"

Aku menoleh ke kiri. Seorang laki-laki tiba-tiba menegurku, menyadarkanku dari lamunan. Aku yakin yang ia maksud 'di sini' lebih tepatnya adalah di tengah koridor yang memisahkan ruang tengah dengan bagian lobi. Laki-laki dengan tinggi kurang lebih 160 cm itu masih menatapku dengan penasaran, menunggu jawaban. Mata coklat yang hampir sewarna dengan rambut pendek bergelombangnya menatapku tenang. Dan menenangkan

Sebenarnya siapa dia yang memiliki tatapan menenangkan itu?

RenaissanceWhere stories live. Discover now