Ketika Ale Membawa Kabar

Start from the beginning
                                    

"Kamu nggak seneng Van?" tanya dia khawatir.

"Kamu mau sekolah lagi? Di kampus aku?"

"Iya."

"Dan kamu sama sekali nggak bilang ke aku? Niat kamu, kemauan kamu, usaha kamu, semua tes-tes kamu, kamu bolak-balik Bandung – Depok selama ini, itu kamu sama sekali nggak pengen bilang dulu ke aku? Itu tuh nyebelin banget!"

"Lah sekarang kan aku bilang ke kamu?"

"Ya kenapa nggak dari kemaren-kemaren???"

"Dengerin, dengerin," Ale memutar tubuh saya dengan kedua tangannya, menuntun saya untuk menatap bola matanya lurus-lurus. "Aku baru bilang sekarang bukan karena aku ngga percaya sama kamu, tapi karena hasilnya juga baru keluar. Kamu justru adalah orang pertama yang aku kasih tau, Van. Bahkan orang tua aku belum, adek aku belum. Kalo aku bilang dari dulu dan hasilnya nggak kayak apa yang aku mau, aku ga pengen kamu jadi ikutan kepikiran. Sekarang semuanya udah jelas. Aku keterima, dan aku bakal mulai kuliah lagi nanti bulan Januari. Dan yang paling penting," kedua tangan Ale bergerak turun mencari telapak tangan saya untuk diusapnya lembut. "Aku bisa nemenin kamu di Bandung lagi."

Aduh, pecundang sekali kalau saya bilang mata saya sampai berkaca-kaca mendengar semua kalimat itu terlontar dari mulut Ale, tapi memang begitulah adanya. Terlalu banyak jenis emosi yang diproduksi hati saya, sampai-sampai saya bingung mau mengutarakan yang mana. Antara saya ini terlampau rindu, atau terlampau senang, atau terlampau bangga, entahlah.

Hening panjang kembali menyelimuti kami sampai Ale memecahnya dengan sebuah pertanyaan yang cukup menjengkelkan: "Kok nangis Van?"

"Siapa juga yang nangis." balas saya dongkol.

Melihat saya sedemikian payah, Ale malah semakin tersenyum-senyum resek, jadi saya juga mau tak mau semakin memukul-mukul badannya sebal.

"Itu apa di mata?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Itu apa di mata?"

"Ngga ada!"

"Nangis aja dong, please."

"Gak mau!"

"Laaah, udah nangis juga?"

"Aku nggak nangis!"

Adegan pukul memukul dan ledek meledek masih terus berlanjut hingga kami sama-sama lelah dan memutuskan untuk saling berbagi kehangatan lewat pelukan hangat saja. Yang jelas hari itu saya baru menyadari, hal yang paling menakjubkan dari empat tahun mengenal sosok Aldebaran Abimanyu adalah bagaimana ia selalu memberikan hal baru untuk kami pelajari bersama.

Ketakutan kami yang sedari dulu menganga soal masa depan, yang dengan terampil menjerumuskan kami pada pertengkaran itu, yang membuat kami berdua sama-sama mempertanyakan identitas dan makna eksistensi kami itu, memang sebetulnya ada karena kami tidak pernah benar-benar mau menghadapinya. Maka kali ini, dengan hati sepenuhnya bersedia, saya anjurkan tangan saya pada Ale untuk ia genggam rapat-rapat selama kami menyusuri jalan cerita kami sampai akhir. Sejauh apapun itu, se-tak berujung apapun itu nampaknya di mata kami.

Toh mempelajari Ale, bagi saya, adalah sebuah perjalanan yang tidak akan ada habisnya.

Dan tidak.

Saya tidak keberatan.

.

.

.

Pekan berikutnya adalah pekan Ale pindahan. Dia sudah menemukan apartemen studio yang tidak terlalu jauh dari kampus untuk ditinggali, lengkap dengan pemandangan cantik dari lantai sepuluh dan biaya sewa yang tidak terlalu mahal. Setidaknya kegiatan-kegiatan bermusik dia selama ini bisa menutupi itu sampai satu tahun ke depan.

Sekali lagi saya patut bersyukur Ale adalah orang yang sangat terorganisir. Kami tak perlu menghabiskan waktu lama untuk menentukan di mana barang-barangnya harus diletakkan karena Ale sudah merencanakannya di luar kepala. Yang ada, waktu kami justru terbuang saat kami berdebat panjang masalah dekorasi.

Dia itu, astaga, musisi andal, multitalenta, sarjana sosiologi terganteng se-Unpad raya, tapi selera visualnya tetap saja bikin saya memijat kening pusing. Saya pun akhirnya berjanji akan datang lagi esok hari untuk membantunya mendekor apartemen dengan barang-barang yang saya punya. Pokoknya harus ada karya saya di apartemennya, harus! Pikir jiwa seni rupa saya yang tidak pernah tidak egosentris.

"Aaah, beres juga!" pekiknya lega setelah berjam-jam kami berkutat dengan penataan barang. Ale mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan wajah sungguh berbunga-bunga. Saya pun turut mendudukkan diri di sampingnya setelah itu. Haha, masih aneh sekali rasanya melihat Ale akhirnya tinggal di satu kota yang sama dengan saya.

"Seneng, Le?"

"Seneng lah!" Ale menggeser tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan saya. "Akhirnya bisa pacaran terus."

"Brengsek," saya menampar pipinya kecil, "Sekolah dulu sana yang bener!"

"Emang pernah aku sekolah nggak bener?"

"Lah itu, telat lulus?"

"Satu semester doang elah, wajar. Lulusnya juga nilai aku tinggi."

"Ah udah ah kalah gue kalo ngomongin akademik. Laper nih Le, belanja yuk, trus kita masak!"

"Belum 24 jam, Van, kamu udah mau bikin apartemen aku kebakaran?"

"Sialan. Udah jago aku nih sekarang. Mau dimasakin apa?"

"Kalo capcay udah bisa belom?"

"Ck, itu mah Gordon Ramsay lewat."

"Siaaaap!"

Setelah menuntaskan tawa panjang, saya dan Ale bergegas bangkit dari posisi kami dan turun meninggalkan apartemen. Sisa hari itu kami habiskan untuk belanja, memasak, lagi-lagi bertukar cerita soal apa yang kami lakukan selama tidak bersama, dan menikmati capcay rebus (kali ini tanpa dapur yang kacau dan pengetahuan yang minim) sambil mengamati benda-benda langit yang sejujurnya tidak sedang bagus-bagus amat dari balkon.

Kalau ada satu hal yang sangat sangat ingin saya kembalikan dari masa lalu, sesungguhnya hal itu adalah potongan konstelasi bintang dari jernihnya langit Jatinangor. Hahaha!

Tolong baik-baik sama Ale ya, Bandung!


****


A.N:

Halo... Semuanya... Apa kabar... HUHU maaf ya setelah sekian bulan digantungin aku baru ngasih satu chapter baru sekarang. Denger-denger muncul perdebatan-perdebatan lucu gitu seputar apakah Ketika Ale sebenernya udah tamat atau belum, ya jadi dengan terbitnya chapter ini, aku akan dengan bangga bilang: belum! Memang beberapa bulan terakhir akunya cukup sibuk sama ketaian dunia perkuliahan jadi aku mohon maaf sebanyak-banyaknya ya teman-teman kalo aku menghilang ga ada kabar :'( Maaf juga kalo chapter kali ini keliatan kagok-kagoknya gara-gara aku udah lama ga nulis :'( but nonetheless aku tetep mau ngucapin terima kasih buat kalian yang setia nungguin update terbaru dan udah ngajakin temen-temen kalian buat baca Ketika Ale. I really appreciate it with all of my heart!

Oh ya by the way if any of you is wondering bersamaan sama lahirnya part ini aku juga abis republish cerita tentang Sam alias Samu alias Samudra dan nambahin satu chapter baru di That Day karena aku kangen sama karakter bego ini huhuhu, please kindly check it out too! <3 

With love,

akidoverseas.


Ketika AleWhere stories live. Discover now